Bisnis.com, JAKARTA — Empat bank jumbo atau bank bermodal inti lebih dari Rp70 triliun yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) berlomba-lomba menyalurkan kredit hijau pada 2022.
Berdasarkan laporan keberlanjutan, BNI mencatatkan pembiayaan pada kategori kegiatan usaha berkelanjutan senilai Rp182,9 triliun pada 2022, atau 28,5 persen dari total portofolio kredit BNI.
Khusus untuk kredit hijau, BBNI memberikan pembiayaan pada sektor pengelolaan bisnis ramah lingkungan dan sumber daya alam hayati senilai Rp19,7 triliun. Kemudian, untuk energi baru dan terbarukan senilai Rp10,9 triliun, pembiayaan untuk pencegahan polusi senilai Rp4 triliun, serta sustainable portfolio lainnya senilai Rp25,1 triliun.
Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan penyaluran kredit hijau itu dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap target pemerintah dalam mewujudkan nol emisi karbon pada 2060.
“Diperlukan komitmen khususnya dari para pelaku industri perbankan guna melakukan transisi yang mengarah pada penggunaan energi baru terbarukan serta mendorong pembiayaan ke sektor-sektor ramah lingkungan untuk meningkatkan portofolio hijau,” ujarnya dalam laporan keberlanjutan dikutip Bisnis pada Rabu (22/2/2023).
Royke menambahkan prospek usaha terkait kredit hijau ke depan juga semakin meningkat. “Hal ini menjadi peluang positif bagi bank,” ujarnya.
Sementara BCA mencatatkan penyaluran kredit pada sektor berkelanjutan senilai Rp183,2 triliun atau tumbuh 14,9 persen secara tahunan (year on year/yoy). Angka tersebut berkontribusi hingga 25,4 persen terhadap total portofolio kredit BCA.
BCA telah mencatatkan kegiatan usaha berwawasan lingkungan dengan nilai Rp80,9 triliun, naik 13,5 persen yoy.
“BCA akan terus memberikan dampak positif kepada seluruh pemangku kepentingan dalam rangka mendukung pembiayaan transisi menuju Indonesia netral karbon 2060,” kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja dalam laporan keberlanjutan perseroan.
Sementara, Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan perseroan mencatatkan portofolio pembiayaan berkelanjutan senilai Rp228 triliun sepanjang 2022. Kemudian, pembiayaan hijau Bank Mandiri mencapai senilai Rp106 triliun atau sekitar 11,4 persen dari portfolio pembiayaan.
“Sejalan dengan kebijakan pemerintah, perkembangan tren global dan untuk terus relevan dengan kebutuhan masyarakat, Mandiri Group akan terus mengembangkan inisiatif baik dari sisi digital maupun sustainability,” ungkap Darmawan.
Kemudian, BRI mencatatkan pembiayaan berkelanjutan atau pembiayaan berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) senilai Rp694,9 triliun sepanjang 2022, tumbuh 13,1 persen yoy.
Untuk segmen lingkungan, BRI telah menyalurkan pembiayaan hijau atau green financing senilai Rp78,8 triliun sepanjang 2022. Porsi pembiayaan hijau di BRI ini telah mencapai 7,7 persen dari total penyaluran kredit BRI pada 2022.
Secara rinci, BRI memberikan pembiayaan untuk proyek energi terbarukan senilai Rp7,1 triliun pada 2022, kemudian untuk pencegahan polusi Rp1,7 triliun, transportasi bersih Rp12,1 triliun, green building Rp1,4 triliun dan proyek hijau lainnya.
Selain itu, sebagai upaya mendorong prinsip ESG, BRI pada 2022 menerbitkan green bond senilai Rp5 triliun yang merupakan bagian dari penawaran umum berkelanjutan (PUB). Total target dana yang akan dihimpun dari penerbitan green bond BRI itu senilai Rp15 triliun dan dilakukan bertahap selama 3 tahun, dari 2022 hingga 2024.
Tantangan Kredit Hijau
Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (IBI) Haryanto T. Budiman mengatakan bahwa kredit berkelanjutan, termasuk di dalamnya kredit hijau memang mempunyai potensi yang besar bagi masa depan perbankan. Menurutnya, investor global saat ini banyak yang sudah fokus pada aspek sustainability atau prinsip ESG dalam keputusan investasi mereka.
"Penerapan ESG jadi pertimbangan utama mereka dalam berinvestasi, perbankan nasional pun tak luput dari penerapan prinsip tersebut," kata Haryanto dalam CEO Banking Forum pada Januari 2023.
Di Indonesia, potensi pembiayaan hijau pun tergolong besar, apalagi Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tengara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim.
Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11 persen pada akhir abad ini. Dengan begitu, semakin banyak lagi perusahaan di Indonesia yang akan menerapkan prinsip berkelanjutan.
Namun, Haryanto mengatakan bahwa perbankan menghadapi sejumlah tantangan dalam menggarap kredit berkelanjutan di Indonesia. Menurut, nasabah diwajibkan menaati aturan seperti penyampaian data emisi karbon, penanganan isu-isu sosial yang dihadapi, serta penerapan anti suap dan korupsi.
"Akan tetapi, mengingat Indonesia masih merupakan negara berkembang, tidak serta merta aturan pelaporan yang diterapkan di negara maju itu dapat diterapkan juga di Indonesia secara rigid, apalagi untuk segmen UMKM [usaha mikro, kecil dan menengah] yang jumlah nasabahnya besar," kata Haryanto.
Presiden Komisaris BCA Djohan Emir Setijoso juga mengatakan bahwa penerapan prinsip ESG memang merupakan persoalan kompleks. "Ada tanggung jawab untuk masa depan, tetapi perbankan juga punya tanggung jawab terhadap mereka yang menaruh dana," kata Djohan.
Ia memberi contoh, apabila perbankan Indonesia secara total menerapkan prinsip ESG, seperti dengan menghentikan kredit pada industri kendaraan bermotor yang mengandalkan bahan bakar minyak, maka ekonomi akan kena dampaknya. "Akan jelek sekali ke ekonomi," ujarnya.
Maka untuk mengatasi tantangan itu, mesti disiapkan kerangka pembiayaan jangka panjang. "Bank mesti memikirkan bagaimana pembiayaan untuk stasiun pengisian kendaraan listrik, feasibility-nya seperti apa, ini harus dikembangkan terus," kata Djohan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel