Bisnis.com, JAKARTA - Jika tidak ada aral melintang masa jabatan Perry Warjiyo sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) akan berakhir pada Mei 2023.
Sesuai dengan Pasal 41 (1) (3) dan (5) UU No. 3 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), Presiden akan mengusulkan kepada DPR paling banyak 3 (tiga) orang calon dan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur Bank Indonesia. Artinya, Presiden sudah harus menyampaikan calon Gubernur BI ke DPR paling lambat akhir Februari 2023.
Pemilihan Gubernur Bank Indonesia ke-17 memiliki nilai strategis yang akan menentukan wajah kebijakan moneter Indonesia selama 5 tahun ke depan.
Selain itu, selang setahun setelah pemilihan Gubernur BI, tepat 14 Februari 2024, akan dilaksanakan Pemilihan Presiden (Pilpres), jika tidak menghasilkan pemenang maka akan dilaksanakan putaran kedua pada tanggal 26 Juni 2024.
Presiden terpilih nantinya selaku kepala Pemerintahan, tentu memiliki otoritas penuh dalam menentukan arah kebijakan fiskal pemerintahan ke depan. Momentum pemilihan Gubernur BI dan Pilpres 2024 akan menentukan arah kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) kedepan.
Selama ini kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang diwakili oleh Menteri keuangan dan Gubernur Bank Indonesia memperlihatkan kerja sama yang harmonis.
Melakukan bauran kebijakan moneter dan fiskal untuk menangani dampak Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional melalui kerja sama pemenuhan pembiayaan APBN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.
Penerbitan SBN dapat dilaksanakan dengan biaya yang lebih rendah dan sebagian beban biaya SBN yang diterbitkan Pemerintah ditanggung oleh Bank Indonesia (burden sharing).
Duet yang kompak antara otoritas fiskal dan moneter yang ditunjukkan selama menghadapi krisis multidimensi, kesehatan, sosial, ekonomi dan keuangan dalam 2 tahun terakhir, telah membantu menyelamatkan perekonomian nasional dari jurang krisis yang lebih dalam.
Walaupun Bank Indonesia harus mengorbankan independensi dengan membeli SBN di pasar perdana. Pengalaman tersebut memberikan pelajaran berharga bagaimana otoritas moneter dan fiskal harus berada pada Kompas yang sama dalam menentukan arah perjalanan bangsa.
Kita masih harus menunggu, figur Gubernur BI yang baru dan Kabinet Presiden terpilih yang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024.
Terjadinya pergeseran risiko krisis yang terjadi pasca-Covid-19 menjadi krisis geopolitik yang melahirkan krisis energi dan pangan secara global menjadi pemicu makin kompleksnya kondisi perekonomian global. Krisis energi dan pangan telah menyebabkan lonjakan inflasi global secara persisten.
Kondisi tersebut direspons oleh beberapa negara maju dengan melakukan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga, akibatnya terjadinya volatilitas pasar keuangan secara global, capital outflow, pelemahan nilai tukar dan kenaikan biaya utang (cost of fund).
Bank Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan dari kebijakan moneter ketat yang dilakukan oleh sebagian negara maju terutama AS. Kebijakan suku bunga Bank Indonesia BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) juga masih sangat tergantung kepada kebijakan Federal Reserve (The Fed).
Masih tingginya angka Inflasi di Amerika Serikat (AS) pada Januari 2023, membuat Federal Reserve (The Fed) masih akan menaikkan suku bunga acuan. Kondisi ini tentunya juga akan berdampak terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Pascamelandainya Covid-19 dan mulai pulihnya perekonomian nasional pada akhir tahun 2022, terbuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Indonesia memerlukan pertumbuhan lebih tinggi agar bisa memanfaatkan puncak bonus demografi.
Besarnya tenaga kerja usia produktif menjadi peluang dan sekaligus tantangan untuk mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan sekaligus keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). BI sepertinya perlu mendesain ulang kebijakan moneter pascakontraksi ekonomi agar mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi lebih tinggi ke depannya.
Tantangan yang tidak kalah beratnya harus dijalankan oleh Bank Indonesia adalah bagaimana mengimplementasikan Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Amanah UU ini nantinya untuk melakukan reformasi aturan dan pengembangan sektor keuangan.
Salah satunya adalah cara KSSK dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Hal ini penting, mengingat kondisi perekonomian global yang memiliki ketidakpastian tinggi. Oleh sebab itu, penanganan krisis ini menjadi satu hal penting mengingat risiko terjadinya krisis saat ini dan ke depan akan semakin tinggi.
Peran Bank Indonesia sebagai salah satu anggota PPSK akan makin signifikan, selain sebagai penjaga kebijakan moneter, BI juga dituntut untuk memainkan peran dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga independesinya.
Pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang dilaksanakan 1 tahun menjelang Pilpres 2024 akan menjadi sangat krusial, baik dari sisi keberlanjutan kebijakan moneter maupun dari sisi sosok yang akan menakhodai BI ke depan.
Walaupun nanti yang akan mengusulkan calon Gubernur BI adalah Presiden Jokowi, tetapi terhitung mulai 15 Februari 2024 sudah mulai memasuki masa transisi kekuasaan sampai dengan 20 Oktober 2024. Artinya Gubernur BI terpilih nantinya akan lebih banyak bekerja sama dengan Menteri Keuangan yang ditunjuk oleh Presiden terpilih.
Duet antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan dalam mengawal kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi faktor penentu keberhasilan transformasi ekonomi Indonesia ke depan.
Begitu pula dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), peran Gubernur BI dan Menteri Keuangan akan makin signifikan dalam menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian.
Oleh sebab itu, pasar akan menanti figur Gubernur BI yang baru, nantinya diharapkan akan bisa bekerja sama dengan Presiden terpilih, secara khusus dengan Menteri Keuangan yang baru.
Peran BI menjadi sangat dominan selama terjadinya kontraksi ekonomi hingga pemulihan perekonomian nasional akibat badai pandemi Covid-19 yang berlangsung.
Selain menjalankan peranya dalam menjaga kebijakan moneter, Bank Indonesia juga melakukan bauran kebijakan moneter dan fiskal untuk menangani dampak Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional melalui kerja sama pemenuhan pembiayaan APBN dengan menanggung sebagian beban biaya SBN yang diterbitkan Pemerintah ditanggung oleh Bank Indonesia (burden sharing).
Kedepan peran Gubernur BI akan semakin sentral, selain menjaga menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan, Bank Indonesia juga dituntut untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, Pemilihan Gubernur Bank Indonesia pada bulan Mei ini akan menjadi momentum penting sebelum pemilihan Presiden 14 Februari 2024 nanti.
Duet Gubernur Bank Indonesia yang baru dengan Menteri Keuangan yang ditunjuk oleh Presiden terpilih akan sangat menentukan arah kebijakan fiskal-moneter kedepan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel