OPINI : Antara BI 7-DRRR dan LPS Rate

Bisnis.com,10 Mar 2023, 07:20 WIB
Penulis: Haryo Kuncoro
LPS Rate

Bisnis.com, JAKARRA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dinilai mengganggu kebijakan moneter yang didesain Bank Indonesia (BI) (Bisnis Indonesia, 28/2). Pada saat BI per Februari 2023 mulai menghentikan rentetan kenaikan suku bunga acuan, 7 day reverse repo rate (BI 7-DRRR), LPS malah justru menaikkan suku bunga penjaminannya (LPS rate).

Klaim LPS mengganggu kebijakan moneter kian kencang lantaran kenaikan LPS rate terjadi dua bulan berturut-turut pada Januari dan Februari 2023. Penetapan tingkat bunga penjaminan biasanya dilakukan pada Januari, Mei, dan September. Kenaikan LPS rate di luar periode reguler berpotensi merecoki stabilitas pasar keuangan.

Pada titik ini, ketidaksinkronan yang muncul dari kedua suku bunga di atas adalah persoalan waktu. Timing kenaikan LPS rate diharapkan mengikuti ritme kenaikan suku bunga acuan. Dengan demikian, pelaku pasar keuangan bisa cepat menyesuaikan diri sehingga tidak bakalan terjadi gangguan yang kurang perlu.

Isu kedua menyangkut arah dan intensitas kenaik­­annya. Kenaikan suku bunga acuan sudah selayaknya diikuti suku bunga penjaminan. Mulanya, suku bunga LPS ada di atas suku bunga acuan BI. Kini posisi berbalik, BI 7-DRRR (5,75%) lebih tinggi daripada LPS rate (4,25%). Artinya, kenaikan LPS rate sangat boleh jadi terlambat atau kurang agresif.

Titik temu untuk mengompromikan antara arah dan besaran perubahan kedua suku bunga di atas tampaknya harus menengok kembali pada metode perhitungan yang dipakai masing-masing otoritas. Suku bunga acuan yang ditetapkan BI adalah instrumen kebijakan moneter penargetan inflasi (inflation targeting).

Dalam menentukan suku bunga acuan, target utama BI adalah kestabilan inflasi dan nilai tukar tetap terjaga sehingga arah kebijakannya senantiasa melihat ke depan (forward looking). Jika ekspektasi inflasi dan nilai tukar dipandang lebih tinggi dari target, BI akan menaikkan suku bunga acuan guna menjangkar perkembangan ke depan.

Serangkaian kenaikan BI 7-DRRR pada tahun lalu bisa menjadi contoh. Dinamika perekonomian global dan nasional belum serta merta mengubah suku bunga acuan. BI baru menaikkan BI 7-DRRR pada Agustus 2022 tatkala inflasi terimpor yang dipicu oleh kenaikan harga energi dan komoditas pangan sudah berada di luar toleransi.

Lebih lanjut, kenaikan suku bunga acuan sebagai biaya dana (cost of fund) akan berdampak pada suku bunga perbankan. Meski demikian, kecepatan respons penyesuaian suku bunga perbankan sering kali berbeda tatkala kenaikan suku bunga acuan jika dibandingkan dengan kasus terjadi pemotongan suku bunga acuan.

Fakta menunjukkan derajad interest rate pass-through tipikal lambat saat terjadi penurunan BI 7-DRRR. Perbankan cenderung memilih ‘bermain aman’ untuk tidak buru-buru memangkas suku bunga simpanannya. Akan tetapi, saat BI 7-DRRR naik, perbankan ‘bermain ofensif’ dengan seketika melejitkan suku bunga kreditnya.

Perilaku interest rate pass-through tak sempurna dan perilaku asimetris inilah yang menyebabkan mekanisme transmisi kebijakan moneter kepada sektor riil lambat bekerja. Ketegaran (rigidity) suku bunga perbankan nasional itu pula yang dituding akan membuka dikotomi antara sektor moneter dan sektor riil.

Ketegaran suku bunga perbankan ini semestinya bisa ditutup oleh LPS rate. Penentuan LPS rate sifatnya melihat ke belakang (backward looking) yang merefleksikan suku bunga industri. LPS rate ditentukan berdasarkan suku bunga hasil survei sejumlah bank. Dari hasil survei tersebut, kemudian dilakukan kalkulasi statistiknya.

Prosedur yang dikenal sebagai sistem margin itu ditujukan untuk meredam persaingan tidak sehat antarbank dalam memburu dana pihak ketiga saat terjadi kenaikan suku bunga acuan BI. Sebaliknya, ketika terjadi pemangkasan suku bunga acuan BI, LPS rate ditujukan untuk menjaga likuiditas perbankan.

Meski berbeda jalur, keduanya sama-sama mengondisikan suku bunga perbankan. Namun, penurunan suku bunga perbankan lewat jalur LPS rate diklaim lebih segera daripada melalui jalur BI 7-DRRR. Perbankan akan segera menyesuaikan suku bunga simpanannya dengan LPS rate guna menjaga kepercayaan dana pihak ketiga.

Di satu sisi, dana pihak ketiga khususnya segmen nasabah menengah-bawah agaknya tidak terlalu memperhatikan perubahan suku bunga penjaminan LPS. Besaran nominal simpanannya toh masih di bawah batas penjaminan LPS Rp 2 miliar, sehingga mereka lebih cenderung bertahan.

Di sisi lain, kelompok nasabah menengah-atas berpotensi memindahan dana simpanannya antarbank atau ke instrumen investasi lain guna mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi. Golongan menengah-atas ini ditengarai menunda belanja konsumsi dan menimbun dananya di perbankan untuk jaga-jaga.

Kalaupun terjadi migrasi dana, risikonya masih dalam level aman. Migrasi dana toh tetap berada dalam sistem keuangan nasional. Risiko yang perlu diantisipasi adalah jika pemilik dana kelas jumbo memindahkan dananya ke luar negeri. Persoalan berkembang ke nilai tukar, aliran modal keluar, dan penggerusan cadangan devisa.

Lebih lanjut, perubahan suku bunga simpanan ini diharapkan proporsional dengan perubahan suku bunga kredit. Sayangnya, LPS merevisi tingkat bunga penjaminan secara periodik, alih-alih setiap bulan sebagaimana suku bunga acuan BI. Konsekuensinya, harapan yang dibebankan pada LPS rate untuk segera bertransmisi juga memerlukan jeda.

Dengan konfigurasi problematika di atas, hasrat LPS untuk mengubah secara pelan-pelan metode penghitungan suku bunga penjaminan patut diapresiasi. Prosedur perhitungan yang diterapkan selama perlu diinovasi agar seiring dengan sinyal kebijakan moneter. Pada akhirnya, kebijakan LPS ke depan lebih selaras dengan bank sentral.

Bukan begitu?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini