Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah bank pembangunan daerah (BPD) seperti PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR) hingga PT Bank DKI mencatatkan kinerja laba yang moncer sepanjang 2022. Perolehan laba ini ditopang oleh ekosistem daerah yang jadi andalan.
Berdasarkan laporan keuangannya, Bank BJB mencatatkan laba bersih konsolidasi Rp2,24 triliun sepanjang 2022, tumbuh 11,44 persen secara tahunan (year on year/yoy). Kemudian, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. (BJTM) telah meraup laba bersih sebesar Rp1,54 triliun pada 2022, naik 1,31 persen yoy.
PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara Tbk. (BSMT) atau Bank Sumut yang bersiap melantai di bursa (initial public offering/IPO) juga memperoleh laba sebesar Rp700,71 miliar sepanjang 2022, naik 14,21 persen yoy. Selain itu, Bank DKI melaporkan mengantongi laba Rp939 miliar sepanjang 2022, naik 29,11 persen yoy.
Sekjen Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Yuddy Renaldi mengatakan pada 2022 sejumlah BPD telah menutup tahun dengan baik secara kinerja keuangan. "Hal itu didorong dari pengelolaan ekosistem keuangan daerah yang baik," ujarnya kepada Bisnis pada Jumat (10/3/2023).
Ekosistem daerah yang dijalankan oleh BPD itu mulai dari transaksi penerimaan, belanja daerah, aparatur sipil negara (ASN) hingga rantai nilai turunannya.
Dengan ekosistem tersebut, rasio profitabilitas seperti margin bunga bersih (net interest margin/NIM) BPD pun tinggi. NIM Bank Sumut dan Bank BJB misalnya masing-masing ada di level 6,39 persen dan 5,86 per 31 Desember 2022.
NIM kedua BPD itu mengungguli bank-bank nasional seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) yang masing-masing memperoleh NIM 5,16 persen, 5,13 persen, dan 4,80 persen.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin juga mengatakan laba BPD banyak didominasi dari pendapatan bunga kredit yang cukup signifikan dengan segmentasi utama adalah kredit konsumsi untuk ASN.
"Captive market ASN merupakan potensi terbesar dan tidak dimiliki oleh bank-bank lain," katanya.
Ia juga memperkirakan kinerja BPD pada tahun ini akan tetap moncer. Faktor pendorong kinerja tetap dari pendapatan bunga, meski beberapa BPD besar mulai bisa memperoleh pendapatan lain melalui pendapatan berbasis komisi atau fee based income sebagai dampak digitalisasi.
Meski begitu, BPD akan menghadapi sejumlah tantangan dalam mendongkrak kinerja keuangannya tahun ini. Salah satu tantangan bagi BPD adalah penguatan modal.
Pada awal tahun ini, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan dari total 26 BPD di Indonesia, tersisa 12 bank yang sejauh ini belum memenuhi ketentuan modal inti minimum.
Sementara dalam Peraturan OJK No.12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, BPD diberikan tenggat waktu sampai akhir tahun 2024 untuk memenuhi modal inti tersebut.
Dian mengatakan ke-12 BPD tersebut tahun ini kemudian akan mengejar ketentuan modal inti melalui skema kelompok usah bank (KUB). Bank-bank kecil yang bernaung di dalam satu bank besar sebagai induknya kemudian dimungkinkan hanya cukup memenuhi modal inti minimum Rp1 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel