Bayang-Bayang Krisis Usai Silicon Valley Bangkrut, Kok Bisa?

Bisnis.com,12 Mar 2023, 17:25 WIB
Penulis: Alifian Asmaaysi
Lobi kantor pusat Silicon Valley Bank di Santa Clara, California, AS, Jumat (10/3/2023). /Bloomberg-Philip Pacheco

Bisnis.com, JAKARTA — Salah satu bank terbesar di Amerika Serikat yakni Silicon Valley Bank dilaporkan bangkrut pada Jumat (10/3/2023) pagi waktu setempat. Kejadian tersebut lantas menyulut kekhawatiran masyarakat atas terulangnya kembali krisis pada 2008 silam.

Kepanikan publik yang muncul bukan tanpa alasan, pasalnya Silicon Valey Bank kolaps dalam waktu yang sangat singkat. SVB resmi dinobatkan bangkrut usai gagal mengumpulkan dana tambahan sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam.

Melansir laporan Reuters, tren kenaikan suku bunga agresif The Fed disinyalir menjadi faktor yang mendorong bangkrutnya SVB. Sejalan dengan hal tersebut, investor global menghadapi gejolak kekhawatiran akan kejadian lanjutan ke depan. Alhasil, penarikan dana besar-besaran tidak terelakkan. 

“Para deposan menarik uang mereka secara tiba-tiba dan cepat sehingga bank bangkrut dan penurunan interday tidak dapat dihindari akibat penarikan besar-besaran itu,” kata Chief Executive Officer (CEO) Better Markets Dennis M. Kelleher. 

Terbaru, runtuhnya SVB membuat First Republic Bank (FRC.N) berada di bawah tekanan. Pasalnya harga saham First Republic Bank bahkan sempat tergerus 52 persen pada awal perdagangan waktu setempat Jumat (10/3/2023).

Sebelumnya, manajemen First Republic Bank telah memastikan bahwa likuiditas dan simpanan mereka berada pada level yang terjaga. Pernyataan tersebut disampaikan guna meredam kekhawatiran investor akan efek domino dari bangkrutnya SVB.

Kendati demikian, langkah seribu yang diambil First Republic rupanya tidak berdampak banyak. Sejumlah nasabah First Republic pada Minggu (12/3/2023) dikabarkan berbondong-bondong mulai menarik dana simpanannya.

Lantas, bagaimana bisa bangkrutnya SVB dapat berdampak sedemikian besar?

Silicon Valley Bank masuk ke dalam 16 besar bank terbesar di AS. Pada akhir 2022, SVB memiliki aset sebesar US$209 miliar ekuivalen Rp3.197,7 triliun (estimasi kurs Rp15.300 per dolar AS) dan sekitar US$$175,4 miliar atau Rp2.683,62 triliun dalam deposito.

Silicon Valley Financial Group memiliki spesialisasi dalam pembiayaan startup dan penyedia manajemen kas serta kekayaan pribadi yang populer di AS. Dalam menjalankan bisnisnya, SVB memiliki jalinan erat terhadap sejumlah industri teknologi besar di AS.

Alhasil, runtuhnya SVB memiliki risiko pada runtuhnya industri teknologi di AS. Salah satu contohnya perusahaan Stablecoin USD Coin (USDC) yang kehilangan pasak dolarnya dan merosot ke level terendah sepanjang masa setelah Circle. USDC mengungkapkan bahwa sebagian cadangan yang mendukungnya disimpan di Silicon Valley Bank.

Oleh karena itu, sejalan dengan besarnya lini bisnis SVB dalam menopang perekonomian, Pemerintah AS mengatakan mereka melihat sedikit tanda-tanda krisis keuangan seperti pada 2008, di mana lembaga perbankan yang gagal dapat mengancam kelangsungan ekonomi industri lain.

Kendati demikian, Menteri Keuangan AS Janet Yellen dan Gedung Putih sama-sama mencatat sistem perbankan AS saat ini  lebih tangguh dibandingkan saat krisis keuangan 2008. Kejadian yang menimpa SVB juga diperkirakan akan menahan The Fed untuk mengerek suku bunga acuan. 

"The Fed biasanya memperketat sampai ada sesuatu yang rusak," kata Jack McIntyre, manajer portofolio di Brandywine Global.  

Adapun, di pasar keuangan, gerakan panik dimulai pada hari Kamis, setelah SVB mengumumkan bahwa pihaknya tengah berupaya untuk mendapatkan modal dengan cepat untuk mengatasi penarikan besar-besaran pelanggannya. Portofolio SVB mencapai US$21 miliar atau sekitar Rp321,3 triliun, dan mengalami kerugian US$1,8 miliar atau sekitar Rp27,54 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Muhammad Khadafi
Terkini