Bisnis.com, JAKARTA – Silicon Valley Bank (SVB), bank dengan urutkan ke-16 yang terbesar di Amerika Serikat, ini telah mengalami kebangkrutan.
Seperti banyaknya bank lain, SVB melakukan investasi di berbagai sekuritas, termasuk Available for Sale (AFS) Securities.
SVB menjual hampir semua sekuritas AFS-nya dengan kerugian US$1,8 miliar atau setara dengan Rp27,6 triliun. Pada Rabu (8/3/2023), SVB mengumumkan pada para pemegang saham bahwa mereka telah menjual semua AFS-nya secara substansial.
Hingga saat ini, belum ada yang tahu mengapa SVB menjual sekuritasnya begitu banyak. Namun, ada beberapa pandangan yang menilai bahwa hal tersebut berkaitan dengan fakta para startup yang belum menyetorkan banyak modal dalam beberapa bulan terakhir karena adanya kendala ekonomi akibat inflasi.
Ketika SVB menjual sekuritas tersebut, mereka harus siap dengan kerugian yang besar akibat kenaikan suku bunga. Ketika suku bunga naik, tentunya hal tersebut memengaruhi banyak industri dan investasi lain.
Setelah mengetahui bank sedang mengalami masalah, CEO SVB memberi tahu para pemegang saham terkait hal tersebut.
Beberapa startup mulai menarik uang mereka keluar dari SVB karena takut dana yang mereka simpan di sana dibekukan sebelum mereka mengaksesnya. Hal tersebut menimbulkan “Bank Run” atau penarikan uang besar-besaran yang akhirnya melumpuhkan bank.
Karena semakin banyak perusahaan yang menarik dana dari SVB, hal buruk pun akhirnya terjadi, di mana SVB mulai menunjukkan kesulitan teknis pada situsnya.
Pada Jumat (10/3/2023), Silicon Valley Bank (SVB) ditutup oleh Departemen Perlindungan Finansial dan Inovasi California AS.
Adapun kebangkrutan SVB membuat Federal Reserve (The Fed) bertindak dengan berencana meninjau kembali pengawasan terhadap bank tersebut.
Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan kebangkrutan SVB memicu kekhawatiran atas sistem perbankan sehingga perlu ada peninjauan yang menyeluruh, transparan, dan cepat. Nantinya, wakil ketua Fed untuk pengawasan Michael Barr akan memimpin tinjauan dan merilis hasilnya pada 1 Mei mendatang.
"Kita harus memiliki kerendahan hati, dan melakukan tinjauan yang cermat dan menyeluruh tentang bagaimana kita mengawasi dan mengatur perusahaan ini, dan apa yang harus kita pelajari dari pengalaman ini," kata Michael, sebagaimana dilansir dari Reuters pada Selasa (14/3/2023).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel