Bisnis.com, JAKARTA — Harga saham bank digital seperti PT Bank Jago Tbk. (ARTO) dan PT Bank Raya Indonesia Tbk. (AGRO) memang ditutup menguat pada perdagangan akhir pekan (17/3/2023). Namun, dalam sepekan kinerjanya masih di zona merah.
Berdasarkan data RTI Business, harga saham ARTO ditutup menguat 3,70 persen pada perdagangan akhir pekan (17/3/2023) dan terparkir di level Rp2.240. Namun, dalam sepakan harga saham ARTO masih di zona merah dan anjlok 14,50 persen.
Begitu juga dengan PT Bank Raya Indonesia Tbk. (AGRO) yang harga sahamnya ditutup menguat 6,36 persen pada perdagangan Jumat (17/3/2023) dan terparkir di level Rp368. Sementara dalam sepekan harga saham AGRO turun 6,12 persen.
Kemudian, harga saham PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) terparkir di level Rp545 pada perdagangan Jumat (17/3/2023) dan melonjak 14,02 persen. Namun, harga saham BBYB tetap di zona merah, turun 12,80 persen dalam sepekan.
PT Bank Aladin Syariah Tbk. (BANK) juga mencatatkan peningkatan harga saham 8,93 persen pada perdagangan Jumat (14/3/2023) dan ditutup di level Rp1.220. Akan tetapi, harga saham BANK turun 2,01 persen dalam sepekan.
Hanya PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) yang mencatatkan penurunan harga saham pada penutupan perdagangan akhir pekan ini (17/3/2023). Harga saham BBHI terparkir di level Rp1.500, turun 3,23 persen. Dalam sepekan, harga saham BBHI juga masih di zona merah, turun 6,83 persen.
Tren negatif kinerja saham bank digital telah terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Kemudian belum lama ini kabar kebangkrutan bank-bank di AS yang bermula dari runtuhnya Silicon Valley Bank dikhawatirkan menjadi sentimen negatif bagi bank digital di Indonesia.
Sebagiamana diketahui, Silicon Valley Bank adalah bank yang memiliki eksposur tinggi terhadap startup.
Direktur Indovesta Utama Mandiri Rivan Kurniawan mengungkapkan kasus SVB dan bank AS lainnya rentan melunturkan kepercayaan publik terhadap sektor perbankan. Sentimen negatif ini bisa merembet ke sektor bank digital, dibandingkan bank konvensional yang lebih besar.
“Meskipun secara data, kesehatan bank digital saat ini rata-rata sudah lebih terjaga dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” kata Rivan kepada Bisnis, Jumat (17/3/2023).
Rivan menilai gerak bank digital pun menjadi semakin berat setelah merebaknya kabar kejatuhan SVB. “Jadi untuk beberapa waktu ke depan [investor] belum menarik untuk masuk,” jelasnya.
Akan tetapi dalam jangka waktu yang lebih panjang, apabila bank digital mampu meningkatkan profitabilitas dan memperkuat struktur permodalan, dan sentimen negatif dari eksternal sudah mereda, maka saham-saham bank digital bisa menjadi pilihan investor.
Sebagaimana diketahui, SVB dilaporkan bangkrut pada akhir pekan lalu (10/3/2023) usai gagal mengumpulkan dana tambahan sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam.
Bangkrutnya SVB terimbas kenaikan suku bunga secara agresif. Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sejak tahun lalu untuk menekan lonjakan inflasi. Kenaikan suku bunga merupakan momok menakutkan bagi perusahaan rintisan.
Pemodal berpaling untuk menambah investasi di startup. Akibatnya, perusahaan menarik dananya di SVB untuk memenuhi likuiditas.
Bank yang didirikan pada 1983 itu memang memiliki spesialisasi pembiayaan ke startup berbasis teknologi. Portofolio separuhnya dialokasikan ke startup dan layanan kesehatan Amerika.
Sejumlah startup kenamaan global pun berbisnis dengan SVB, di antaranya Shopify Inc, Stripe, Pinterest, hingga Coinbase.
Sebelum SVB, Silvergate Capital Corp., juga telah mengatakan akan melikuidasi banknya yang menyimpan dana kripto sebagai imbas dari kehancuran industri kripto.
Kepanikan di industri keuangan AS tidak berhenti di situ, sebab regulator bank AS kemudian mengumumkan penutupan Signature Bank karena alasan risiko sistemik. Signature Bank sendiri mempunyai banyak porsi simpanan yang berasal dari perusahaan aset digital seperti kripto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel