Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) memperkuat pengelolaan aset sebagai antisipasi krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, krisis keuangan ini diawali bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) hingga Signature Bank.
Chief Strategy Officer Bank Danamon Reza Iskandar Sardjono mengatakan terkait krisis perbankan di AS, Bank Danamon berpendapat industri perbankan di Indonesia tidak akan terlalu terdampak akibat krisis di negeri Paman Sam itu.
"Namun, Danamon akan terus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan bisnis," katanya kepada Bisnis pada Sabtu (18/3/2023).
Berkaca pada pandemi Covid-19, Bank Danamon secara konsisten mempertahankan fundamental dan ketahanan operasional yang kuat. "Hal ini terbukti membantu kami bertahan dan memiliki rencana mitigasi yang lebih baik untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global," ujarnya.
Sementara, seiring dengan krisis perbankan yang terjadi di AS, perseroan semakin memperkuat pengelolaan portofolio aset. Menurutnya, Bank Danamon terus menjaga prinsip kehati-hatian dan memperhatikan berbagai aspek risiko, termasuk risiko kredit, risiko likuiditas, hingga risiko suku bunga.
Bank Danamon pun menurutnya memiliki komposisi porsi aset treasury dan portofolio kredit yang optimal. Tercatat, cakupan provisi kerugian pinjaman atau loan loss coverage di Bank Danamon berada di level 231 persen. Sementara rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) perseroan ada di level 2,6 persen. Kemudian, rasio loan at risk (LAR) termasuk restrukturisasi Covid-19 mencapai angka 12,6 persen. Untuk permodalan, Bank Danamon tercatat mempunyai rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 26,3 persen.
Sebagaimana diketahui, industri perbankan di AS sedang dilanda guncangan. SVB dilaporkan bangkrut pada pekan lalu (10/3/2023) usai gagal mengumpulkan dana tambahan sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam. Kebangkrutan ini tidak berhenti di situ, Signature Bank yang memiliki portofolio serupa juga terdampak. Sedangkan bank yang mengurus nasabah kaya yakni First Republic Bank mengalami tekanan kuat, bahkan juga menjalar ke raksasa bank Eropa, Credit Suisse.
Dampaknya, saham Credit Suisse Group AG ditutup melemah 24 persen pada perdagangan Rabu (15/3/2023), setelah sempat anjlok 31 persen ke level terendah sepanjang masa.
Bank Sentral Swiss kemudian memberikan bantuan likuiditas kepada Credit Suisse Group AG setelah sahamnya anjlok. Credit Suisse Gorup AG sendiri telah menarik pinjaman senilai US$54 miliar atau Rp833 triliun dari Bank Sentral Swiss.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel