Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menilai suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) yang kini bertengger di level 5,75 persen masih cukup memadai, meskipun suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed, diperkirakan masih akan terus menanjak.
BI memperkirakan suku bunga The Fed akan naik ke level 5,25 persen pada tahun ini, bahkan berpeluang mencapai 5,5 persen. Perkiraan itu berlandaskan pada tekanan inflasi dan perkembangan ekonomi, khususnya pasar tenaga kerja AS.
Meski demikian, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyatakan BI7DRR buka satu-satunya kebijakan moneter yang dimiliki bank sentral. Dari sisi makroprudensial dan perbankan, kebijakan BI juga diarahkan untuk mendorong perekonomian atau pro-growth.
“Hal itu dilakukan untuk menjaga ekspektasi depresiasi. Saya kira kebijakan Bank Indonesia saat ini lebih granular, jadi tidak hanya dari suku bunga,” tuturnya dalam lokakarya BI dengan wartawan di Yogyakarta pada akhir pekan lalu.
Menurutnya, saat ini persoalan ekonomi global cukup kompleks, mulai dari krisis akibat perang antara Rusia-Ukraina, menguatnya dolar AS, dan adanya gangguan rantai pasok global. dengan kondisi ini, penyelesaian dinilai tidak dapat ditempuh hanya melalui satu instrumen.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Firman Mochtar menambahkan bahwa mandat BI adalah menjaga inflasi. Oleh karena itu, komponen penyusun inflasi tentu menjadi perhatian, begitu pun efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Dia menyatakan bank sentral juga terus memerhatikan fluktuasi nilai tukar rupiah. Pasalnya, jika nilai tukar tertekan maka hal itu dapat memberikan dampak lanjutan terhadap inflasi.
Berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan lalu, bank sentral memutuskan untuk menahan suku bunga acuan pada level 5,75 persen. Tingkat suku bunga acuan tersebut dinilai telah memadai untuk menurunkan inflasi ke target 2-4 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan bahwa arah kebijakan suku bunga acuan didasarkan pada ekspektasi dan proyeksi inflasi ke depan, serta imbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Jadi tidak one to one direction and correlation dengan FFR [Fed Funds Rate]. Kita punya otonomi dalam kebijakan moneter kita,” katanya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur, Kamis (16/3/2023).
Perry menyampaikan bahwa laju inflasi di dalam negeri telah turun lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Selain itu, inflasi inti juga masih terkendali pada tingkat di bawah 4 persen.
Pada Februari 2023, BI mencatat inflasi inti terus melambat menjadi 3,09 persen secara tahunan, yang dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang menurun, tekanan imported inflation yang terkendali, dan pasokan agregat yang memadai dalam merespons kenaikan permintaan.
Perry juga memperkirakan, tingkat inflasi inti akan tetap terjaga pada kisaran 2 sampai dengan 4 persen pada paruh pertama tahun ini, sementara inflasi umum akan turun ke tingkat 2 hingga 4 persen pada semester II/2023.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel