OPINI: Mewaspadai Dampak SVB ke Sektor Perbankan

Bisnis.com,20 Mar 2023, 08:01 WIB
Penulis: Ardhenius dan Elpiwin Adela
Parkiran salah satu cabang Silicon Valley Bank/bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Mengikuti kegagalan Silvergate dan Signature Bank, kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS) tetap mengejutkan keuangan global.

Rentetan kegagalan bank ini mengingatkan kita pada krisis keuangan global 2008 yang juga diawali dengan kejatuhan sebuah bank, yaitu Lehman Brothers. Akankah SVB menjadi Lehman berikutnya dan bagaimana dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia?

SVB merupakan bank terbesar nomor 16 di AS dengan nilai aset US$211,8 miliar pada 2022. Dalam hal pendanaan, SVB mengandalkan simpanan dari berbagai modal ventura dan perusahaan startup sebesar US$173,1 miliar, sedangkan untuk penempatannya lebih dominan berupa obligasi Pemerintah AS.

Porsi aset SVB yang ditempatkan dalam obligasi Pemerintah AS mencapai 55,4% atau US$117,4 miliar. Porsi asetnya yang diperuntukkan bagi kredit hanya 35,06% atau US$74,2 miliar. Kondisi ini membuat SVB rentan terhadap mismatch akibat pergerakan yield obligasi Pemerintah AS dan kepanikan deposan besarnya.

Era suku bunga tinggi tidak menguntungkan bagi SVB, mendatangkan kesulitan likuiditas, mendorong mereka melakukan reposisi neracanya dengan menjual sebagian obligasi senilai US$21 miliar. Selain itu, terjadi penarikan deposan milik perusahaan startup. Hasilnya, SVB menderita kerugian US$1,8 miliar selama 2 bulan pertama 2023.

Upaya SVB menghimpun dana US$2,2 miliar ditanggapi negatif oleh deposan mereka yang mulai melakukan penarikan secara masif (bank run). SVB terpaksa menjual rugi aset mereka, dan seperti bola salju harus menanggung kerugian lebih besar lagi, menggerus modal SVB menjadi negatif. Otoritas akhirnya mengambil tindakan dengan menutup bank tersebut dan menyerahkannya kepada lembaga penjamin simpanan, yaitu Federal Deposit Insurance Company (FDIC).

Persoalannya, sebagian besar simpanan di SVB adalah simpanan besar yang berada di luar penjaminan FDIC yang senilai maksimal US$250.000. Setidaknya hampir 90% nasabah SVB tidak di-cover oleh penjaminan FDIC. Pada sisi lain, Pemerintah AS menolak melakukan bailout SVB, keputusan yang dapat dimaklumi. Pasalnya, efek sistemis dari SVB kemungkinan memang tidak akan sebesar Lehman Brothers. Ada beberapa alasan mengapa dampak langsung dari kolapsnya SVB tidak besar.

Pertama, interkoneksi SVB dengan elemen sistem keuangan lain relatif terbatas. Bank ini spesifik bidangnya, yaitu terkait teknologi, startup, dan lebih banyak berurusan dengan modal ventura, sehingga keseluruhan sistem keuangan AS tidak akan banyak terdampak. Meski cabangnya di Inggris juga mengalami masalah sehingga harus secara simbolis dijual kepada HSBC sebesar 1 poundsterling, tetapi dampak langsung ke sistem keuangan di negara-negara cabangnya diprakirakan kecil saja. Kedua, sebagian besar aset SVB adalah obligasi Pemerintah AS yang likuid, sehingga cukup mudah dijaminkan guna mengatasi pendarahan keuangan mereka.

Namun, terdapat beberapa pelajaran berharga dari SVB. Pertama, diversifikasi portofolio penting untuk dilakukan bank, baik di sisi aset maupun kewajiban. Kedua, dalam era digital yang membuat informasi dan kepanikan dapat beredar luas dengan sangat cepat, lembaga dan otoritas keuangan sangat perlu memantau social contagion yang dapat memicu perilaku kawanan (herding behavior) dalam pasar modal dan pasar uang, maupun dalam bentuk bank run.

Terakhir, otoritas penjaga stabilitas keuangan perlu memperkuat sinergi makro-finansial dalam masa yang rentan ini. Normalisasi kebijakan moneter perlu terus mempertimbangkan dan mengevaluasi efeknya terhadap ekonomi riil dan yield obligasi Pemerintah sebagaimana yang telah dilakukan Bank Indonesia. Selain sinergi langkah kebijakan, sinergi penting juga dalam komunikasi yang transparan, jelas, dan menenangkan publik. Pembelajaran dari ketiga hal itu berperan penting dalam menentukan apakah kita dapat melewati riak keuangan global ini dengan selamat, sekali lagi!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini