Bisnis.com, JAKARTA - Kasus gugatan perdata Bank OCBC NISP terhadap crazy rich Susilo Wonowidjojo berlanjut ke pembuktian di pengadilan. Kondisi ini setelah proses mediasi yang dipimpin oleh R.A. Didi Ismiatun S.H, M.Hum, Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo terkait kredit macet senilai Rp 232 miliar di OCBC NISP tidak menghasilkan kesepakatan.
Hasbi Setiawan, Kuasa Hukum Bank OCBC NISP dalam pernyataan tertulisnya menyampaikan dengan tidak dicapainya kesepakatan ini, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, agenda selanjutnya adalah pembacaan gugatan dan akan memanggil para pihak melalui relaas. Panggilan ini secara resmi dilakukan pihak pengadilan untuk melanjutkan persidangan di PN Sidoarjo.
"Kami siap membuktikan dalil-dalil gugatannya yang mengakibatkan kerugian Bank OCBC NISP di persidangan berikutnya di PN Sidoarjo," kata Hasbi dalam keterangan tertulisnya dikutip Jumat (14/4/2023).
Menurut dia, untuk menyelesaikan perkara ini, pihak OCBC mengajukan proposal pembayaran tunggakan utang. Hal ini sesuai dengan resume perkara dengan tawaran sesuai dengan yang tertuang dalam gugatan. "Para tergugat, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri melakukan pembayaran kerugian materiil sejumlah US$16,51 juta atau Rp232 miliar kepada Bank OCBC NISP,” katanya terkait usulan perdamaian yang disampaikan.
Meski demikian, Hasbi menyebut para tergugat dan turut tergugat beranggapan tuntutan Bank OCBC NISP bukanlah merupakan kewajibannya. Dalam mediasi ini Hasbi menyebutkan tergugat 1 (T1), Susilo Wonowidjojo tidak hadir dalam Mediasi.
Susilo Wonowidjojo merupakan crazy rich Indonesia pemilik kelompok Gudang Garam (GGRM). Forbes mencatat konglomerat rokok ini merupakan orang terkaya ke 14 pada 2022.
Penyebab Gugatan Versi OCBC NISP
Perkara Bank OCBC NISP ini dimulai saat perseroan memberikan pinjaman kepada turut tergugat (TT) 1 yakni PT Hair Star Indonesia (HSI), perusahaan produsen rambut palsu/wig berlokasi di Sidoarjo, sebesar US$16,51 juta. Dia mengklaim pemberian kredit salah satu alasannya adalah keberadaan Meylinda Setyo sebagai pemegang 50 persen saham. Sosok ini juga Presiden Komisaris PT HSI yang merupakan istri dari Susilo Wonowidjojo (T1). Selanjutnya Lianawati Setyo (T6) adalah adik dari Meylinda Setyo, merupakan Wakil Presiden Direktur PT HSI.
Pada saat pencairan kredit kepada PT HSI, susunan pemegang sahamnya yakni PT Surya Multi Flora (PT SMF) (T3) memiliki 50 persen saham. Meylinda Setyo, istri T1 memiliki 50 persen saham. Selanjutnya ada perubahan kedua di pemegang saham menjadi PT SMF 50 persen dan PT Hari Mahardika Usaha (PT HMU) (T2) sebesar 50 persen. Adapun pemegang saham HMU yakni Susilo Wonowidjojo (T1) memegang 99,9995 persen saham, sisanya Daniel Widjaja (T10) sebesar 0,0005 persen.
Kemudian terjadi perubahan ketiga susunan kepemilikan saham yakni Hadi Kristanto (T4) menjadi pemegang 50 persen saham menggantikan PT HMU, sedangkan PT SMF masih 50 persen. Tidak berhenti di situ, terjadi perubahan keempat yakni perusahan susunan direksi PT HSI yakni Daniel Widjaja (T10) mengundurkan diri dari Komisaris Utama PT HSI begitu juga Lianawati Setyo (T6) turut mengundurkan diri dari wakil Dirut.
Menurutnya perubahan kepemilikan dan direksi persetoan terjadi tanpa izin OCBC. Padahal telah menjadi bagian yang dicantumkan dalam perjanjian kredit.
Persoalan lainnya, setelah perubahan pemegang saham, HSI diajukan pailit oleh salah satu krediturnya dengan nilai yang jauh lebih kecil dari utangnya kepada penggugat. Akibatnya seluruh aset dan bisnis PT HSI berhenti. Sedangkan sebelum dinyatakan pailit, pembayaran kredit dari PT HSI masih berjalan lancar.
Mengutip pernyataann tertulis yang sama, kuasa hukum Nila Pradjna Paramita yang mewakili tergugat 1 (T1) Susilo Wonowidjojo, T2 (PT HMU), T6 (Lianawati Setyo) dan T10 (Daniel Widjaja) mengatakan kliennya tidak ada sangkut pautnya. Tidak layak masuk gugatan karena kliennya tidak ikut menandatangani perjanjian kredit antara PT HSI dan Bank OCBC NISP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel