Bos IMF: Kenaikan Suku Bunga Cenderung Mengekspos Kerentanan Perbankan

Bisnis.com,02 Mei 2023, 13:35 WIB
Penulis: Asahi Asry Larasati
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa kenaikan suku bunga yang cepat telah membuka kerentanan di sektor keuangan, sehingga industri perbankan perlu mewaspadai risiko-risiko tambahan.

Dia menegaskan para pemimpin industri perlu mengantisipasi guncangan-guncangan sehingga saat masalah tersebut datang, mereka sudah siap untuk bertindak lebih lanjut.

"Apa yang telah kita alami dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan serangkaian peristiwa yang tidak terpikirkan. Pandemi, perang di Ukraina, hingga lonjakan suku bunga yang cepat setelah bertahun-tahun berada di level rendah," kata Kristalina sebagaimana dilansir dari Bloomberg pada Selasa (2/5/2023).

Hal tersebut disampaikan usai regulator Amerika Serikat (AS) melanjutkan upaya untuk menopang sektor perbankan, yang telah diguncang oleh kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve (The Fed) dan penarikan deposito besar-besaran. 

First Republic Bank menjadi bank regional keempat yang bangkrut sejak gejolak dimulai pada bulan Maret. Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) akhir pekan lalu mengatur penjualan aset-aset bank tersebut kepada JPMorgan Chase & Co. 

Sebelumnya, IMF sudah memperingatkan gejolak dalam sistem perbankan kemungkinan akan menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi, dan bahwa pasar keuangan masih rapuh dan tertekan. 

IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan menjadi 2,8 persen untuk 2023, dan memperingatkan adanya risiko-risiko penurunan lebih lanjut karena tekanan-tekanan di sektor keuangan menambah tekanan dari kebijakan moneter yang lebih ketat dan invasi Rusia ke Ukraina.

Kristalina mengatakan pemberi pinjaman krisis ini juga memperingatkan  fragmentasi ekonomi dan ketegangan geopolitik akan membebani produk domestik bruto global selama lima tahun ke depan.

Adapun, kepala IMF membahas isu-isu seputar penundaan restrukturisasi utang negara-negara berkembang. 

Seperti diketahui, lebih dari 70 negara berpenghasilan rendah menghadapi beban utang kolektif sebesar US$326 miliar, dengan lebih dari separuhnya sudah berada dalam atau hampir mengalami kesulitan utang, termasuk Zambia, Ethiopia, dan Ghana.

Upaya-upaya untuk merestrukturisasi utang tersebut telah terhambat oleh ketidaksepakatan antara para kreditor tradisional seperti Paris Club, terutama negara-negara kaya Barat - dan para pendatang baru seperti China, pemberi pinjaman terbesar bagi negara-negara berkembang.

"Semua orang menyadari bahwa kecuali kita menciptakan mekanisme yang lebih baik untuk restrukturisasi hutang, semua orang akan rugi," lanjutnya.

Menurutnya, penting untuk berjalan bersama, karena jika tidak, akan terjadi bencana bagi banyak negara. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Aprianto Cahyo Nugroho
Terkini