Bisnis.com, JAKARTA — Dampak tekanan ekonomi hingga persoalan pemahaman layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending alias pinjaman online (pinjol) menjadi aspek-aspek yang memengaruhi meningkatnya kredit macet atau keterlambatan pembayaran oleh kreditur (borrower) di PT Investree Radhika Jaya kepada sejumlah pemberi pinjaman (lender).
Co-Founder & Chairman Investree Adrian Asharyanto Gunadi menjelaskan industri P2P lending memang tidak lepas dari risiko keterlambatan atau bahkan gagal bayar kredit. Hal itu tercermin dari catatan non performing loan (NPL) industri fintech dari waktu ke waktu.
Adrian yang juga Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menjelaskan bahwa berdasarkan data asosiasi, NPL industri berada di 4,3 persen pada Maret 2023. Sementara itu, NPL Investree berada di 3,01 persen pada Maret 2023 dan turun menjadi 2,93 persen pada April 2023.
Meski demikian, saat dikunjungi Bisnis mengunjungi laman Investree pada Senin (15/5/2023), tingkat kredit lancar atau dibayar di bawah 90 hari berada pada level 94,47 persen atau dengan kata lain, kredit macet per waktu kunjungan menjadi 5,53 persen.
Sementara itu, versi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPL industri P2P lending pada Maret 2023 adalah 2,81 persen. Kondisinya meningkat dari posisi Desember 2022 di 2,78 persen dan Maret 2022 di 2,32 persen.
Menurut Adrian, NPL dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti usaha debitur belum dapat pulih dari dampak pandemi Covid-19, adanya penundaan pembayaran dari proyek terkait, maupun terjadi pailit. Kondisi itu menurutnya harus dipahami oleh lender yang menyalurkan pendanaan.
Investree mencantumkan itu dalam penafian (disclaimer) di bagian bawah halaman muka situs resminya, bersama berbagai penjelasan lain. Salah satu penjelasan adalah layanan pinjam meminjam merupakan kesepakatan perdata antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, sehingga segala risiko dari kesepakatan tersebut sepenuhnya ditanggung oleh masing-masing pihak.
"Kemudian, risiko kredit atau gagal bayar ditanggung sepenuhnya oleh pemberi pinjaman, tidak ada lembaga atau otoritas negara yang bertanggung jawab atas gagal bayar [debitur kepada pemberi pinjaman]," ujar Adrian kepada Bisnis, Jumat (12/5/2023).
Adrian menyatakan bahwa para pelaku industri P2P lending telah menyepakati klausul itu sejak hari pertama penyusunan regulasi bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketentuan mengenai industri pun disepakati untuk ditampilkan dan dijelaskan oleh setiap perusahaan, termasuk di situs resminya.
Meskipun begitu, bukan berarti pelaku industri P2P lending tidak melakukan langkah antisipasi. Adrian menyebut bahwa dalam perjanjian pinjam meminjam, platform seperti Investree juga memegang jaminan dari debitur atau borrower, seperti giro, kontrak, tagihan atau invoice, hingga penjaminan pribadi atau personal guarantee pemilik usaha.
Apabila terjadi gagal bayar, perusahaan P2P lending terlebih dahulu memproses jaminan dari debitur agar bisa memenuhi kewajiban kepada lender. Namun, Adrian menekankan bahwa proses itu membutuhkan waktu.
Dia juga menyebut bahwa asuransi bukan merupakan jaminan dalam kontrak pinjam meminjam. Proteksi asuransi berlaku jika sudah melewati proses pengelolaan jaminan, yaitu di Investree asuransi dapat memulihkan 75 persen—80 persen dari nilai pokok pinjaman berdasarkan premi yang sudah dibayarkan, lalu klaim asuransi tidak dapat diproses jika terdapat putusan PKPU.
"Kalau saya lihat banyak yang menganggap asuransi seperti penjaminan utama dari produk ini, saya rasa bukan pemahaman yang pas. [Kalau asuransi jadi jaminan] ada potensi moral hazard besar, pinjam di P2P ada asuransinya jadi pinjam saja enggak usah bayar, nanti kasihan industri asuransinya. Dari awal kami dan OJK sudah sepemahaman seperti itu," kata Adrian.
KOMPLAIN
Investree mencatat bahwa sepanjang 2023 terdapat 3.948 komplain yang masuk melalui kanal resmi, berasal dari lender individu. Perseroan memetakan setiap lender itu dan ke mana pendanaannya tersalurkan, ternyata 79,9 persen lender yang menyampaikan komplain menyalurkan pendanaan ke debitur dengan rating B hingga C-, yaitu profil risiko sedang hingga tertinggi.
Adrian menyebut bahwa debitur di profil risiko tinggi memang menawarkan imbal hasil yang tinggi, tetapi risiko gagal bayarnya pun sama tingginya. Oleh karena itu, penting bagi lender untuk mengetahui dan siap menerima jika terjadi risiko.
"Banyak orang melihat P2P lending karena return mungkin, tetapi apakah memahami risikonya? Apakah memahami kalau terjadi gagal bayar proses apa yang dilakukan? Karena balik lagi, ini adalah perjanjian pinjam meminjam," kata Adrian.
Terdapat 128 lender yang menempatkan dana di debitur dengan profil A+ atau risiko rendah, tetapi mengajukan komplain keterlambatan pembayaran. Adrian menyebut hal itu mungkin terjadi karena adanya keterlambatan pencairan invoice kepada debitur atau hal-hal lain yang membuatnya terlambat membayar kewajiban.
Menurut Adrian, sebagian besar keluhan memang berasal dari lender individu, yang porsinya mencakup 20 persen dari total dana di Investree. Sementara itu, lender institusi relatif memahami dinamika P2P lending sehingga tidak menyampaikan komplain atas keterlambatan pembayaran kewajiban.
"Mungkin dari total pendanaan mereka [lender institusi] sudah punya buffer, bisa menanggung risiko gagal bayar beberapa persen. Kami juga melihat kesiapan pemahaman ritel ini masih perlu terus diedukasi," kata Adrian.
*Wawancara dengan Adrian merupakan bagian dari laporan khusus Kantong Kering P2P Lending yang terbit di harian Bisnis Indonesia edisi Senin (15/5/2023). Baca laporan selengkapnya di epaper.bisnis.com.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel