Bisnis.com, JAKARTA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut masih 26 penyelenggara financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending belum memenuhi batas ekuitas minimum tahap pertama sebesar Rp2,5 miliar. Ini artinya sekitar 25 persen dari total penyelenggara atau 102 pemain fintech P2P lending yang belum memenuhi persyaratan.
Ekonom dan Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai masih adanya pelanggaran batas modal ini hanya menunggu ketegasan OJK saja. Menurutnya terdapat dua opsi yakni meminta penyelenggara mengembalikan izin ke OJK alias ditutup, atau kedua harus ada dorongan untuk merger dan akuisisi.
“Baik sesama pemain fintech maupun dengan lembaga keuangan misalnya perbankan. Tapi kan ini sudah cukup lama ya diberikan ruang oleh OJK untuk memenuhi kecukupan permodalan,” kata Bhima kepada Bisnis, Rabu (17/5/2023).
Untuk itu, Bhima menilai bahwa untuk kondisi saat ini OJK diminta untuk memfasilitasi investor yang siap untuk menambah kecukupan modal. Bersamaan dengan itu, dia juga meminta otoritas juga tegas terkait dengan tenggat waktu.
Apabila sudah difasilitasi, kata dia, namun fintech tidak juga tidak bisa menaikan kecukupan modal serta memiliki Non-Performing Loan (NPL) cukup tinggi sudah menjadi peringatan.
“Sebaiknya [penyelenggara fintech] mengembalikan izin ke OJK,” katanya.
Menurut Bhima, makin sedikit perusahaan fintceh lending akan semakin bagus. Kondisi ini berbeda dengan rencana OJK yang akan membuka kembali perizinan baru.
Dia menekankan jumlah perusahaan penyalur yang lebih sedikit membuat penyaluran pembiayaannya lebih fokus ke sektor yang produktif dibandingkan dengan sektor yang konsumtif.
Selain itu, lanjut dia, soal pengawasan manajemen risikonya juga akan semakin baik. Pasalnya dapat menggarap area yang di luar pulau Jawa.
“Nah itu yang lebih berkualitas, jadi harus ada road map ke depan soal fintech ini. Semakin sedikit jumlahnya tapi semakin berkualitas dan itu akan menguntungkan bagi OJK selaku pengawas. Kalau kebanyakan fintech susah melakukan cek mana yang legal maupun ilegal tapi kalau sendikit akan lebih mudah bagi masyarakat untuk membedakan,” paparnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, per Desember 2022, OJK mencatat ada sebanyak 17 penyelenggara fintech P2P lending yang belum memenuhi batas ekuitas minimum Rp2,5 miliar. Ini artinya perusahaan yang belum memenuhi persyaratan meningkat.
Tris Yulianta, Direktur Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa keuangan (OJK) menjelaskan bahwa bertambahnya penyelenggara fintech P2P lending yang belum memenuhi ekuitas Rp2,5 miliar itu salah satunya disebabkan oleh kerugian dari fintech itu sendiri.
Kendati demikian, Tris mengungkapkan bahwa 26 penyelenggara fintech P2P lending tersebut terus berupaya untuk meningkatkan batas ekuitas sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022.
“Jadi bukan berarti mereka diam saja, mereka lagi peningkatan modal, masih proses, dan jatuh temponya kan Juli 2023,” kata dia saat ditemui usai acara bertajuk Fintech Policy Forum yang diselenggarakan IFSoc di Auditorium CSIS, Jakarta, Selasa (16/5/2023).
Berdasarkan POJK 10/2022, dijelaskan bahwa OJK memberikan jadwal pemenuhan ekuitas perusahaan fintech lending secara bertahap, yaitu dimulai pada 4 Juli 2023 dengan paling sedikit memiliki ekuitas senilai Rp2,5 miliar.
Selanjutnya, sebesar Rp7,5 miliar pada 4 Juli 2024 dan berlanjut hingga Rp12,5 miliar pada 4 Juli 2025.
Di sisi lain, Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Bambang W. Budiawan mengatakan regulator telah menyiapkan sanksi kepada penyelenggara fintech P2P lending yang tidak bisa memenuhi ekuitas minimum Rp2,5 miliar.
Tak tanggung-tanggung, OJK juga menyiapkan sanksi tegas berupa pencabutan izin usaha kepada penyelenggara fintech P2P lending.
“Kalau sanksi kita lihat, bisa dilakukan macam-macam, bisa dilakukan peringatan, teguran, dan pembatasan kegiatan usaha bisa saja, sampai dengan ujungnya CIU [pencabutan izin usaha],” jelas Bambang.
Lebih lanjut, apabila suatu pemain fintech P2P lending menyerah dalam memenuhi ekuitas minimum, maka bisa menyerahkan izin usaha ke regulator. “Atau, juga ada pilihan kalau menyerah balikin saja izinnya. Itu macam-macam mereka melakukan corrective action-nya. Kalau cepat, tentunya surat tegurannya akan dicabut,” tambahnya.
Bambang mengaku bahwa sejauh ini pemain fintech P2P lending belum memiliki rencana aksi korporasi seperti merger atau akuisisi (penggabungan) antar fintech. “Tapi kalau perubahan pemegang kepemilikan kemungkinan iya. Tapi tidak dalam waktu dekat,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel