Bisnis.com, JAKARTA - Maraknya keterlambatan pembayaran peminjam P2P lending merupakan dampak dari kenaikan suku bunga dan menurunnya pendapatan. Pelaku usaha P2P Lending pun diminta mengarahkan pinjamannya terutama kepada para peminjam produktif.
Ekonom dan Rektor Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menerangkan meningkatnya keterlambatan bayar para peminjam P2P lending disebabkan kenaikan bunga dan menurunnya pendapatan masyarakat.
"Situasi sulit terjadi di sektor P2P lending, karena banyak perusahaan fintech yang sebenarnya tidak kuat dalam hal permodalan, sehingga penurunan kemampuan membayar para peminjam akan memukul sektor ini. Risikonya, banyak fintech P2P yang mungkin tutup," ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (17/5/2023).
Mengacu data OJK per Maret 2023, outstanding pinjaman P2P lending dalam negeri mencapai Rp40,17 triliun dan Rp10,58 triliun merupakan pemberi pinjaman luar negeri.
Di sisi lain, dari total pinjaman senilai Rp51,01 triliun ada berkisar Rp3,57 triliun pinjaman tidak lancar dan Rp1,43 triliun pinjaman macet.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menerangkan kendati terdapat kelemahan dari sisi pemenuhan kewajiban tepat waktu, P2P lending merupakan salah satu yang bisa dipakai mengembangkan inklusi keuangan terutama bagi UMKM yang belum layak perbankan (unbankable).
"Di sana memang kami tekankan, sebagai dewan penasihat AFP [Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia] mengarahkan agar kredit ke peminjam produktif, POJK, dan aturan segala macam dibuat, sehingga ada shifting dari non produktif ke produktif," katanya.
Seiring pergeseran pembiayaan P2P lending ke arah peminjam produktif, dia melihat hal ini membuat perbankan masuk dan menjadi pemberi pinjaman atau menjadikan P2P Lending sebagai channeling pinjamannya.
Berdasarkan data OJK Maret 2023, besaran pemberi pinjaman dari institusi perbankan dalam negeri mencapai Rp22,63 triliun atau lebih dari setengahnya total dana yang disalurkan P2P lending. Meningkat tajam dibandingkan dengan Maret 2022 yang hanya Rp8,87 triliun.
P2P lending lanjutnya, sangat membantu akses pembiayaan bagi UMKM. Namun, terdapat manajemen risiko pinjaman yang harus dikelola lebih baik.
Dia mencontohkan perlu adanya berbagi data antar P2P lending, sehingga para peminjam tidak dapat mengajukan pinjaman di beberapa platform P2P lending sekaligus.
"Ini bisa dihindari, harus dimonitor benar-benar itu scoring system, bagaimana menghindari mereka yang kepepet, terutama yang kebutuhan harus bayar kewajiban di tempat lain, atau katakanlah ke fintech lain yang sifatnya gali lubang tutup lubang," terangnya.
Selain itu, pria yang juga merupakan Dewan Penasihat AFPI ini menjelaskan perlu memaksimalkan upaya restrukturisasi utang jangka pendek para peminjam.
"Segmen konsumtif jangan disentuh lagi, ini jadi kesempatan mencari segmen yang produktif. Ini bagian dari literasi keuangan yang perlu ditingkatkan, baik lender maupun borrower. Jangan pinjam kalau bukan untuk produktivitas," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel