Bisnis.com, JAKARTA – Para gen Z (lahir pada 1997-2012) dan milenial (lahir pada 1981-1996) diproyeksi akan menghadapi risiko keuangan yang lebih besar akibat gaya pengelolaan keuangan yang kurang sehat.
Financial Planner Dwi Wulandari menyampaikan bahwa berdasarkan laporan Deloitte, sebanyak 47 persen responden gen z menyatakan bahwa masa depan keuangan menjadi faktor utama penyebab stres saat ini.
Bahkan berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 14.808 gen z dan 8.412 milenial dari 46 negara tersebut tercatat ada 29 persen gen z dan 36 persen milenial yang secara global khawatir terhadap masalah tersebut.
Baik gen Z dan milenial saat ini dihadapkan dengan godaan dan jebakan finansial yang tinggi, salah satunya karena inflasi, serta gaya hidup yang modern dan keinginan yang lebih besar daripada kebutuhan.
“Di sini lah kalau keinginan semakin banyak tidak diimbangi rem, financial planning, buyar, berapapun gaji kita, buyar,” ujarnya dalam Bisnis Indonesia Goes to Campus – Universitas Brawijaya, Rabu (24/5/2023).
Untuk itu, perlu perencanaan keuangan, salah satunya dengan mengatur pendapatan berdasarkan pos-pos.
Wulan mengatakan, bahwa bagi gen z dan milenial dapat mengatur cash flow setiap ada uang dari sumber mana pun.
“Petakan dalam satu bulan itu duit saya berapa lalu buat pos posnya buat rem. Keinginan banyak, ada remnya, apa? Bujet. Financial planning tidak membuat sengsara, justru bisa menikmati hidup karena tahu batasannya,” jelasnya.
Pertama, Wulan menyarankan untuk mengaluarkan dana pertana untuk sosial minimal 2,5 persen.
Kedua, mulai dengan mendahulukan menabung dan investasi minimal 10 persen, sebelum membelanjakan dana untuk kebutuhan.
“Kalau sudah di level bisa mengatur gaya hidup, nabung itu bisa sampai 70-80 persen, betapa indahnya cepat ngumpul jadi cepat tercapai financial freedom,” ujarnya.
Ketiga, utang ataupun cicilan maksimal 30 persen. Contohnya, pendapatan Rp1 juta, kalau memiliki utang maksimal cicilan Rp300.000. Bila sudah mencapai angka tersebut, namun selesaikan cicilan yang ada, baru memulai cicilan lagi.
Keempat, alokasi untuk kebutuhan rutin maksimal 60 persen. Jika lebih dari itu, efisiensikan daftar kebutuhan yang ada.
Kelima, pengeluaran untuk lifestyle atau bersenang-senang dapat dialokasikan maksimal 20 persen.
Jika ingin memiliki suatu barang yang harganya lebih dari alokasi tersebut, Wulan menyarankan untuk menabung, tidak utang maupun menggunakan kartu kredit meski bunganya nol persen.
Wulan memberikan catatan, bahwa untuk cicilan utang konsumtif (non KPR) tidak melebihi 15 persen, sementara cicilan utang secara total (konsumtif ditambah KPR), tidak melebihi 35 persen dari pendapatan.
“Ada minimal dan maksimal, kenapa nggak langsung ploting? Karena kondisi orang berbeda, kalau di sini minimal boleh dinaikin, kalau maksimal, coba turunin, nggak bisa kita samakan generasi sandwich dan nonsandwich,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel