Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan mengungkapkan belum berhasilnya penerbitan obligasi daerah karena adanya pinjaman subsitusi dari kas negara.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) Deni Ridwan menuturkan sejumlah daerah telah menyiapkan cukup matang penerbitan obligasi daerah. Saat yang sama, perangkat regulasi untuk menopang juga dibenahi. Akan tetapi, penerbitan menjadi tertunda akibat pandemi Covid-19.
"Kami mendorong obligasi daerah [sehingga dapat dipasarkan oleh perbankan untuk meraih fee based income], yang sudah menyatakan minat ada Jabar hingga Jateng," kata Deni dalam Media Editors 'Peran Perbankan dalam Mendukung Perekonomian Indonesia melalui Sektor Pasar Modal', pada pekan lalu (24/5/2023).
Menurut Deni, awalnya hambatan penerbitan obligasi daerah adalah mengenai auditor yang digunakan berbeda dengan di Bursa Efek Indonesia. Masalah ini kemudian dapat teratasi.
"Kemudian pandemi, sektor keuangan tiarap [jatuh ke titik terendah tahunan]. Kemudian ada pinjaman Pemda dengan bunga sangat rendah [untuk pemulihan akibat Covid-19], akhirnya obligasi daerah ditunda," kata Deni.
Seiring melandainya pandemi, Deni menyampaikan Kementerian keuangan kembali mendorong penerbitan obligasi daerah sebagai salah satu instrumen keuangan yang disediakan untuk pembangunan.
Sementara itu, UU P2SK juga membuka ruang bertumbuhnya obligasi daerah. Menurutnya, dalam regulasi baru ini maka penerbitan obligasi dilakukan cukup meminta persetujuan DPRD saat pengajuan APBD. Sedangkan pelaksanan dilaksanakn perbitan obligasi disetujui dapat dilakukan sepanjang tahun anggaran.
"Ini didorong sebagai alternatif pembiayaan," katanya merujuk kepada obligasi daerah.
Meski menyadari kebutuhan pembiayaan daerah, Deni menyebutkan sejumlah kepala daerah bertindak realitis. Obligasi daerah akan kembali diperbincangkan setelah kepala daerah terpilih dalam Pemilu 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel