Opini : Risiko NPL dan Gagal Bayar pada P2P Lending

Bisnis.com,29 Mei 2023, 00:10 WIB
Penulis: Amira Natanegara
Ilustrasi P2P Lending. /Freepik.com

Bisnis.com, JAKARTA - Muncul pertanyaan bagi pengamat fintech maupun investor yang sebelumnya tertarik untuk menggarap keuntungan dari P2P lending: apakah berinvestasi di platform ini aman? Apakah risiko gagal bayar yang tinggi dapat dihindari?

P2P lending nampak menjadi solusi untuk banyak peminjam yang membutuhkan dana cepat dan accessible, terutama untuk kalangan unbanked dan underbanked. Skema pembiayaan ini juga menarik bagi para pemilik dana atau investor yang dijanjikan return cukup tinggi setiap tahunnya.

Namun, maraknya non-performing loans (NPL) atau kredit bermasalah pada beberapa tahun terakhir pada platform fintech ini menunjukkan sisi buruk dari skema pembiayaan ini.

Maraknya (NPL) atau kredit bermasalah pada pinjaman platform P2P lending berawal sejak masa pandemi. Menurut data dari Statistik fintech lending yang dipublikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penurunan tingkat keberhasilan bayar 90 hari (TKB90) fintech lending pada Juli 2020 mencapai 5,61% dari tahun sebelumnya.

Sejumlah berita melaporkan, kredit bermasalah terus berlangsung. Hingga pada September 2022, jumlah pinjaman macet dan tidak lancar tembus Rp5,1 triliun.

Walaupun TKB90 relatif tinggi berada di 96,93%, performa P2P lending cukup mengkhawatirkan masyarakat umum, terutama lender atau pemberi pinjaman pada platform-platform tersebut.

Perlu dipahami sebelumnya nature dari P2P lending itu sendiri pada sifatnya sudah menampung risiko yang lebih tinggi dari produk atau layanan pembiayaan konvensional. Tidak seperti kredit bank, pinjaman yang bersumber dari berbagai lender disalurkan kepada berbagai borrower yang membutuhkan pinjaman cepat dan relatif berjumlah kecil.

Namun, hal yang menjadi keunikan serta risiko besar dari model P2P lending adalah profil borrower yang disasar pada umumnya adalah kalangan unbankable, yakni seseorang yang tidak dapat memenuhi persyaratan mendapatkan akses perbankan, dan kalangan underbanked.

Namun, tidak dapat dipungkiri profil borrower dengan demikian berpotensi lebih tinggi untuk gagal bayar baik disebabkan oleh tidak mampu membayar pinjaman maupun tidak mau membayar pinjaman.

Kemudian, untuk tujuan pinjaman produktif dimana sang borrower menggunakan pembiayaan dari P2P lending untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan.

Walaupun pinjaman produktif menjanjikan return kepada lender atas hasil keuntungan usaha, kegiatan ini tidak terlepas dari risiko-risiko bisnis seperti kerugian atau usaha bangkrut.

Terakhir, risiko gagal bayar akibat mismanagement dari platform P2P lending itu sendiri. Indikasi dari mismanagement ini juga platform tidak dapat membayar biaya operasi seperti gaji pegawai.

RISIKO MELEKAT

Risiko-risiko ini bersifat melekat pada investasi melalui platform P2P lending. Seperti investasi melaluiinstrumen lainnya, lender dalam platform ini tidak bebas dari risiko gagal bayar.

Lantas, bagaimana peran pemerintah dalam melindungi pemberi pinjaman atas gagal bayar di atas batas wajar?

Pemerintah, khususnya OJK, sebagai badan pengawas sebagai badan pengawas sektor jasa keuangan termasuk fintech, dapat bertindak dengan memperketat mekanisme pengawasan dan penalti terhadap platform yang mengalami masalah non-performing loans.

Pemanfaatan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dan Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) yang dikelola oleh OJK dapat ditingkatkan khususnya untuk penerapan manajemen risiko kredit atau pembiayaan. Saat ini, data pinjaman fintech lending tidak dicantumkan dalam SLIK.

OJK telah mewajibkan penyelegara fintech untuk menyampaikan data transaksi pendanaan pada Pusdafil melalui POJK Nomor 10 /POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.

Pandemi Covid-19 mendatangkan shock bagi banyak masyarakat dari pekerja hingga buruh dan pemilik usaha dari skala big enterprises hingga micro enterprises.

Kegiatan usaha dan mata pencarian mereka terganggu atau bahkan terhenti karena adanya pandemi. Mengingat bahwa P2P lending menyalurkan pinjaman kepada kalangan underbanked dan UMKM juga merupakan sasaran borrower, dampak dari pandemi ini menyebabkan borrower telat bayar atau bahkan tidak mampu bayar hutang yang tertagih.

Walaupun lender yang berinvestasi di P2P menanggung risiko terbesarnya, sosialisasi dan edukasi secara reguler kepada masyarakat terutama investor potensial dapat difokuskan tidak hanya pada manfaat P2P lending, tetapi juga risiko yang melekat pada tipe pembiayaan itu.

Hal ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat secara utuh agar dapat membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan ketika berinvestasi di P2P.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Novita Sari Simamora
Terkini