Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga pemeringkat Moody's menilai bahwa sektor perbankan di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, memiliki risiko yang rendah terhadap pengetatan kebijakan moneter secara global, karena simpanan nasabah yang stabil dan aset likuid yang cukup.
Bank-bank secara global menghadapi pengetatan likuiditas di tengah iklim kebijakan moneter saat ini, ketika arus keluar mengalir setelah sempat menumpuk selama pandemi Covid-19. Investor pun cenderung lebih menghindari risiko karena tekanan sektor perbankan di Amerika Serikat.
Berdasarkan risetnya, Moody's berpandangan bahwa risiko risis likuiditas relatif rendah bagi sebagian besar bank di Asia Pasifik. Penyebabnya, simpanan nasabah perbankan di kawasan tersebut relatif stabil sehingga mendukung berbagai pendanaan perbankan.
Bagi bank-bank di Asia Pasifik, deposito dalam mata uang lokal akan tetap menjadi sumber pendanaan utama. Hal itu membuat ketergantungan mereka terhadap pendanaan skala besar yang peka terhadap aspek kepercayaan lebih terbatas.
"Simpanan bank juga umumnya terperinci dan terdiversifikasi dengan baik, sehingga penarikan dana oleh kelompok pelanggan tertentu tidak mungkin melemahkan seluruh basis simpanan mereka," tertulis dalam riset Moody's yang dipublikasikan pada Selasa (30/5/2023).
Moody's juga berpandangan bahwa bank-bank di Asia Pasifik memiliki aset likuid dalam jumlah yang cukup untuk menahan tekanan likuiditas. Sebagian besar aset likuid perbankan itu berupa kas, serta efek yang disimpak untuk diperdagangkan maupun efek pemerintah yang tersedia untuk dijual.
Terdapat tiga negara yang dinilai memiliki risiko pendanaan dan likuiditas lebih besar, yakni Bangladesh, Mongolia, dan Vietnam. Penyebabnya mulai dari penjualan mata uang lokal yang meningkat untuk menutupi kekurangan dolar AS, dana yang terkonsentrasi di suatu sektor ekonomi, hingga aspek pinjaman antarbank dalam negeri.
Perbankan Indonesia mencatatkan pendanaan lebih di atas 70 persen dari deposito. Lalu, seperti yang terjadi di negara-negara Asia Pasifik lainnya, pertumbuhan deposito sempat melejit bahkan hingga di atas 15 persen pada 2020, tetapi melambat akibat Covid-19, sehingga pada 2022 hampir menyentuh 10 persen.
"Bank-bank di Asia Pasifik umumnya mengalami perlambatan dalam pertumbuhan simpanan, yang meningkat tajam selama pandemi karena bantuan darurat, serta karena konsumen dan bisnis membatasi pengeluaran. Aliran dana masuk berkurang karena aktivitas bisnis meningkat, sementara rumah tangga menggunakan sebagian dari tabungan mereka untuk mengatasi kenaikan biaya hidup," dikutip dari laporan Moody's.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel