Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang bersiap mencabut moratorium kebijakan perizinan financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending, seiring dengan kinerja industri yang terus membaik.
Ancang-ancang pencabutan moratorium ini diperkirakan akan dilakukan paling lambat pada kuartal III/2023 mendatang. Artinya, pencabutan moratorium ini akan menjadi kesempatan bagi pemain baru untuk menjadi penyelenggara fintech P2P lending.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Ogi Prastomiyono mengatakan bahwa tujuan dari moratorium itu sendiri adalah untuk menyempurnakan sistem pengawasan di industri fintech P2P lending.
“Tujuan moratorium itu adalah untuk memberi waktu dan menyempurnakan sistem pengawasan dan memastikan peningkatan kualitas dan layanan dari industri P2P lending,” ungkap Ogi dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK Bulan Mei 2023, Selasa (6/6/2023).
Oleh sebab itu, rencana pencabutan moratorium itu akan dilakukan salah satunya sambil dengan mempertimbangkan pemenuhan ekuitas minimum sampai 4 Juli 2023.
“Kalau itu masih besar [ekuitas], kami akan pertimbangkan kembali untuk segera membuka moratorium P2P lending,” ujarnya.
Sebagai pengingat, Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 (POJK 10/2022) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi yang diundangkan pada 4 Juli 2022 itu menyebutkan bahwa penyelenggara fintech P2P lending wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar secara bertahap hingga tiga tahun ke depan, tepatnya 4 Juli 2025.
Rinciannya, ekuitas paling sedikit Rp2,5 miliar pada 4 Juli 2023, lalu menjadi Rp7,5 miliar pada 4 Juli 2024, dan Rp12,5 miliar pada 4 Juli 2025.
Saat ini, Ogi menyebut terdapat 26 penyelenggara yang masih belum memenuhi ketentuan ekuitas Rp2,5 miliar. Bahkan, di antaranya 12 penyelenggara P2P lending masih memiliki ekuitas negatif.
“Jadi ini sedang kita review dan kita sudah menyurati kepada mereka untuk memenuhi ketentuan kewajiban ekuitas minimum,” ujarnya.
Selain itu, Ogi menuturkan bahwa OJK juga mengkaji faktor-faktor lainnya yang terkait dengan sistem yang harus dimiliki oleh perusahaan P2P lending, kompetensi dari para pengurus, dan manajemen risiko, serta tata kelola.
“Jadi, kami masih dalam tahapan untuk me-review sistem kecukupan daripada untuk membuka moratorium itu,” imbuhnya.
Terpisah, Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Triyono mengatakan bahwa secara prudent ada beberapa pertimbangan di balik alasan regulator bisa mencabut moratorium P2P lending.
Ilustrasi pinjaman online. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pertama, Triyono menuturkan bahwa penegakan hukum pinjaman online (pinjol) ilegal sudah cukup baik sehingga kasus pinjol ilegal sudah jauh berkurang.
Selain itu, yang kedua, OJK memandang juga diperlukan adanya penguatan aturan P2P lending dengan telah dikeluarkannya Peraturan OJK (POJK) Nomor 10 Tahun 2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10/2022). Termasuk dalam hal peningkatan permodalan.
Adapun alasan ketiga pencabutan moratorium P2P lending adalah untuk penguatan pengawasan dengan intensifikasi pemeriksaan P2P lending. Keempat, pembenahan laporan database fintech lending. Pertimbangan kelima, yakni integrasi sistem perizinan P2P lending.
Triyono menuturkan bahwa saat ini hampir semua proses sudah dilakukan, kecuali integrasi sistem perizinan.
“Apabila integrasi sistem perizinan P2P lending sudah jalan, maka akan memperkuat kemungkinan pencabutan moratorium,” ujar Triyono kepada Bisnis, Rabu (7/6/2023).
Kinerja P2P Lending
Kinerja industri fintech lending pun semakin apik. Pada empat bulan pertama 2023, OJK mencatat kinerja fintech P2P lending masih mencatatkan pertumbuhan dengan outstanding pembiayaan tumbuh sebesar 30,63 persen yoy menjadi Rp50,53 triliun dari sebelumnya sebesar Rp38,68 triliun.
Namun, jika dibandingkan secara bulanan, outstanding pembiayaan fintech P2P lending mengalami pertumbuhan yang melambat dengan kontraksi mencapai 0,96 persen mtm dari Rp51,02 triliun.
Untuk rasio tingkat keberhasilan bayar 90 hari (TKB90) industri fintech lending berada di angka 97,18 persen dengan tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) sebesar 2,82 persen pada April 2023. Ogi mengatakan OJK terus memonitor pergerakan kualitas pendanaan penyelenggara P2P lending.
Per April 2023, terdapat 24 penyelenggara yang memiliki TWP90 lebih dari 5 persen. Angka tersebut meningkat satu penyelenggara apabila dibandingkan dengan posisi Maret 2023 sebanyak 23 penyelenggara namun lebih rendah apabila dibandingkan dengan Januari 2023 yang mencapai sebanyak 25 penyelenggara.
Lebih lanjut, OJK terus melakukan monitoring terhadap perubahan TWP90, pada perusahaan yang memiliki TWP90 di atas 5 persen.
“OJK memberikan pembinaan dan meminta mereka mengajukan action plan perbaikan pendanaan macet,” terangnya.
OJK selanjutnya memonitor pelaksanaan action plan mereka dengan ketat. Jika kondisinya lebih buruk, OJK melakukan tindakan pengawasan lanjutan.
Sementara itu, dari sisi return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) terpantau semakin besar. Masing-masing mencapai 4,52 persen dan 9,34 persen pada empat bulan pertama 2023.
Alhasil, laba yang dikantongi industri fintech lending mencapai Rp289,46 miliar. Membaik dari April 2022 yang masih harus menelan pil rugi hingga Rp116,18 miliar.
Laba tersebut diperoleh dari meningkatnya jumlah pendapatan operasional yang tumbuh 59,29 persen yoy dari Rp2,38 triliun menjadi Rp3,8 triliun. Pertumbuhan itu dikontribusikan oleh pos pendapatan atas pengembalian pinjaman yang naik 66,77 persen yoy menjadi Rp3,14 triliun.
Bukan hanya itu, perbaikan kinerja juga terjadi pada beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) semakin kecil, hal ini menandakan di industri fintech lending semakin efisien dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Tercatat, rasio BOPO di industri fintech berada di level 87,29 persen pada April 2023, turun jika dibandingkan dengan periode Maret 2023 di angka 87,36 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel