Bisnis.com, JAKARTA - Perolehan laba kelompok bank milik pemerintah daerah menunjukkan perilaku yang berbeda. Ketika kelompok bank negara, swasta nasional dan kantor cabang bank asing (KCBA) menikmati peningkatan laba selama 3 bulan pertama 2023, kelompok bank daerah malah sebaliknya.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia, sampai dengan triwulan I/2023 perolehan laba kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) secara tahunan menyusut 16,06% atau Rp0,66 triliun menjadi Rp3,47 triliun.
Pencapaian kinerja kelompok BPD tersebut menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, pertumbuhan kredit BPD relatif tinggi mencapai 10,45% atau Rp54,69 triliun menjadi Rp577,86 triliun. Penyaluran kredit BPD tersebut sedikit lebih baik dari industri yang tumbuh 10,16%. Pertumbuhan kredit BPD bahkan lebih tinggi dari bank himbara 8,82% dan KCBA 4,87%. Namun, sedikit kalah dari bank swasta nasional 11,86%.
Tingginya kucuran kredit BPD tersebut tidak didukung dengan perolehan dana pihak ketiga (DPK) yang malah naik lebih rendah. Hingga Maret 2023, DPK kelompok BPD hanya tumbuh 2,94% atau Rp20,70 triliun menjadi Rp725,95 triliun.
Pencapaian DPK BPD itu paling rendah dibandingkan dengan industri perbankan yang tumbuh 7% dan semua kelompok bank, yaitu bank himbara 9,38%, swasta nasional 5,50% dan KCBA 9,72%.
Kinerja kegiatan perkreditan BPD ternyata tidak serta merta mendongkrak pendapatan bunganya. Meski kredit BPD naik 10,45%, tetapi pendapatan bunga dari kucuran kredit itu hanya naik 5,34% atau Rp0,74 triliun.
Sebaliknya, beban bunga DPK yang ditanggung BPD justru melejit lebih tinggi mencapai 31,73% atau Rp1,28 triliun. Alhasil, kondisi itu berkontribusi besar pada pendapatan bunga bersih BPD yang menurun 1,88% atau Rp0,22 triliun dari Rp11,88 triliun menjadi Rp11,65 triliun.
Tidak selarasnya kinerja laba kelompok BPD dengan berbagai kelompok bank lainnya kemungkinan disebabkan beberapa hal. Pertama, penyaluran kredit tidak optimal dalam menghasilkan pendapatan bunga kredit.
Kendati kredit bermasalah dan kredit yang direstrukturisasi rendah dan cenderung menurun serta bunga kredit meningkat, tetapi ternyata semua itu tidak mampu menghasilkan pendapatan bunga yang lebih baik.
Kedua, komposisi dana mahal membesar akibat peningkatan deposito dan diiringi dengan kenaikan bunga deposito. Porsi deposito meningkat dari 44,67% pada triwulan I/2022 menjadi 46,01% pada triwulan I/2023. Sementara suku bunga deposito 1 bulan meningkat 1,15% dari 3,27% menjadi 4,42%. Kondisi ini yang menyebabkan beban bunga DPK kian membumbung tinggi.
Kebutuhan likuiditas BPD yang didominasi dalam bentuk DPK untuk penyaluran kredit nyatanya ditempuh dengan memberikan bunga cukup tinggi. Strategi ini memang berhasil mendongkrak perolehan DPK. Namun, sayangnya jumlahnya tidak besar dan malah berimplikasi negatif terhadap pencapaian laba bank.
Ketiga, adanya peningkatan biaya overhead dalam bentuk kenaikan gaji dan biaya operasional lainnya. Biaya gaji itu meningkat 12% atau Rp0,26 triliun menjadi Rp2,41 triliun. Sedangkan biaya operasional lainnya meningkat 20,93% atau Rp0,12 triliun menjadi Rp0,68 triliun. Ada biaya yang menurun cukup besar seperti pembentukan cadangan penurunan kredit yang turun 7,64% atau Rp0,12 triliun, tetapi hal ini belum mampu mengurangi biaya overhead secara agregat.
Apabila dilihat dari individu BPD dengan mengacu pada Laporan Keuangan Publikasi posisi triwulan I/2023, maka menyusutnya laba kelompok BPD itu terutama berasal dari kontribusi tiga BPD terbesar yang dari sisi aset mendominasi kelompok BPD, yaitu Bank Jawa Barat dan Banten (18,01% dari total aset BPD), Bank Jawa Timur (10,52%), dan Bank Jawa Tengah (9,34%).
Laba bersih Bank Jawa Barat dan Banten telah tergerus 49,41% atau Rp349,45 miliar menjadi Rp357,78 miliar. Sementara, laba bersih Bank Jawa Timur menurun 32,71% atau Rp148,39 miliar menjadi Rp305,21 miliar dan laba Bank Jawa Tengah mengempis 17,89% atau Rp83,89 miliar menjadi Rp385,17 miliar.
Secara umum faktor penyebabnya sama untuk ketiga BPD tersebut yaitu penurunan pendapatan bunga bersih dan kenaikan biaya operasional. Penurunan bunga bersih karena peningkatan beban bunga yang lebih tinggi daripada peningkatan pendapatan bunga. Dan ini karena kontribusi dari kenaikan suku bunga deposito. Sementara kenaikan biaya operasional bersumber dari kenaikan biaya umum dan administrasi.
Sementara Bank DKI yang menempati peringkat empat (8,70% dari total aset BPD) masih mampu meraup kenaikan laba 17,77% atau Rp35,19 miliar menjadi Rp233,20 miliar. Peningkatan laba tersebut ditopang dari peningkatan penyaluran kredit yang menyebabkan pendapatan bunga bersih juga meningkat.
Tentu penurunan laba kelompok BPD perlu menjadi perhatian, terutama dalam hal meningkatnya biaya bunga dan biaya gaji. Terlebih ke depan adanya potensi perlambatan ekonomi global yang pasti merembet ke ekonomi domestik dan ujungnya berdampak pada perbankan.
Pengurus harus berusaha untuk lebih efisien dalam mengelola BPD sehingga dapat berkontribusi maksimal bagi pembangunan di daerah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel