Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) sudah bisa diduga. Pasalnya perusahaan asuransi itu tidak dapat mengatasi penyebab dikenakannya status Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) yang sudah berlangsung lama.
Kresna Life dianggap gagal lantaran tidak ada setoran modal dari pemegang saham maupun investor baru. Selain itu, upaya pengalihan kewajiban kepada Pemegang polis dengan skema Subordinate Loan (SOL) meskipun didukung oleh sebagian besar pemegang polis pun menghadapi masalah administrasi dan tidak memberi keyakinan adanya perbaikan risk-based capital (RBC).
“Ketika izinnya sudah dicabut [OJK], Kresna Life sudah bukan lagi perusahaan asuransi. Karena UU perasuransian menyebut bahwa harus terpenuhi syarat perusahaan asuransi yaitu menjalankan perusahaan asuransi dan mendapat izin dari OJK,” kata Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo dikutip Bisnis, Sabtu (24/6/2023).
Dengan pencabutan izin usaha, lanjut Irvan, Kresna Life juga terbuka lebar untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sesuai Undang-Undang37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU sebagai solusi akhir dan bermartabat bagi pemegang polis selaku kreditur.
Menurut Irvan, PKPU tidak menyalahi aturan. Pasalnya, Kresna Life sudah tidak lagi menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan statusnya sudah seperti perusahaan biasa, sejak dilakukannya pencabutan izin usaha (CIU) per 23 Juni 2023.
Dia menilai bahwa apabila disetujui kreditur melalui pemungutan suara, langkah PKPU jauh lebih sederhana dan oleh UU dibatasi waktu. PKPU Sementara yang berlangsung paling lama 45 hari dan PKPU Tetap yang berlangsung paling lama 270 hari.
Sementara proses likuidasi Kresna Life akan memakan waktu hingga dua tahun menurut POJK Nomor 28/POJK.05/2015 Tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Irvan juga menyarankan OJK untuk tidak mengulangi preseden buruk melakukan intervensi ke Pengadilan Negeri (PN) seperti dilakukan pada kasus Permohonan PKPU Wanaartha Life, yakni mengirimkan surat untuk menolak gugatan PKPU yang diajukan perwakilan nasabah.
“Dengan tidak menggunakan POJK 28 /2015 sebagai mekanisme pembentukan Tim likuidasi oleh RUPS. Karena nyata pemegang saham telah gagal melakukan suntikan modal yang diperlukan perusahaan, apalagi Direktur Utama Kresna Life berstatus tersangka,” tuturnya.
Irvan mengatakan bahwa OJK yang telah menggunakan UU 4/2023 P2PSK yang mengedepankan Perlindungan Konsumen dengan Pendekatan restorative justice dibandingkan pemidanaan sebagai ultimum remedium yang menjadi dasar UU 40/2014 tentang Perasuransian yang digunakan saat kasus Wanaartha Life patut diapreasiasi.
Namun, dia menilai langkah OJK untuk memberi ijin kepada nasabah Kresna Life selaku kreditur dalam mengajukan PKPU sesuai UU 37/2004 PKPU dan Kepailitan juncto pasal 50 UU 40/2014 Perasuransian tetap perlu diuji.
“Seperti yang dihalangi oleh OJK pada kasus AJB Bumiputera dan Wanaartha Life. Hingga menimbulkan ketidakpastian hukum hingga kini,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel