Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Kresna Life (Kresna Life) pada Jumat (23/6/2023), salah satunya karena rasio solvabilitas atau tingkat kesehatan (risk-based capital/RBC) yang tidak memenuhi batas ketentuan minimum regulator.
Permasalahan yang muncul di tubuh Kresna Life membuat OJK harus turun tangan dengan memberikan kesempatan berkali-kali kepada pemegang saham dan manajemen Kresna Life untuk melakukan program penyehatan keuangan (RPK).
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan bahwa RPK yang disampaikan manajemen Kresna Life pun sudah sebanyak 10 kali. Meski demikian, Ogi menekankan bahwa dari 10 kali penyampaian RPK tersebut tidak pernah ada yang terpenuhi.
Adapun pada RPK yang terakhir, sambung Ogi, manajemen Kresna Life menyampaikan di detik-detik menjelang berakhirnya 2022,dengan skema konversi dari kewajiban pemegang polis menjadi pinjaman subordinasi (subordinated loan/SOL).
Dalam RPK terakhir tersebut, Ogi menuturkan kekurangan dari konversi tersebut akan dipenuhi dengan tambahan modal dari pemegang saham pengendali atau strategis partner yang akan masuk ke dalam perusahaan. Sayangnya, sampai dengan perpanjangan waktu yang telah diberikan, konversi itu tak kunjung dilakukan dengan benar dan tak mencapai yang diharapkan.
“Selain itu, pemegang saham pengendali [Kresna Life] tidak pernah memasukkan modal ke dalam perusahaan atau ke dalam escrow account yang kami minta untuk memenuhi kekurangannya,” kata Ogi dalam konferensi pers virtual, Jumat (23/6/2023).
Lantas, apakah pencabutan izin usaha Kresna Life yang dilakukan OJK merupakan langkah yang tepat?
Pengamat asuransi yang juga dosen program MM-Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Kapler Marpaung mengatakan bahwa istilah tepat, tidak tepat, atau kurang tepat semestinya memiliki ukuran tersendiri. Kategori itu bisa dilihat dari kasus-kasus pailit, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan likuidasi terhadap perusahaan perasuransian yang pernah terjadi selama ini.
Kapler menyarankan agar pemerintah merubah peraturan perundangan tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, agar lembaga maupun instansi yang melakukan proses likuidasi diwajibkan membuat laporan kepada publik secara terbuka.
“Kalau ditanya apakah tepat OJK mencabut izin usaha dari Kresna Life, jawabannya adalah seberapa besar sisa aset Asuransi Kresna Life saat ini dan sejauh mana nanti sisa aset tersebut benar-benar dibagikan kepada nasabahnya,” kata Kapler kepada Bisnis, dikutip pada Rabu (28/6/2023).
Kapler menambahkan OJK juga harus melihat sejauh mana kepatuhan para pemegang saham, termasuk komisaris dan direksi yang diperintahkan untuk membayar utang.
“Jadi kembali lagi tepat atau tidak tepat ukurannya adalah output-nya. Kesimpulannya, untuk saat ini semua tidak baik. Baik cabut izin, pailit, likuidasi, dan PKPU semuanya tidak ada yang baik bagi nasabah atau pemegang polis,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel