KPPOD Ungkap Tantangan Lenyapnya Mandatory Spending dari UU Kesehatan

Bisnis.com,13 Jul 2023, 22:15 WIB
Penulis: Ni Luh Anggela
Tenaga medis dan tenaga kesehatan melakukan aksi demo di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (5/6/2023) untuk menyuarakan penolakan pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law - BISNIS/Ni Luh Angela.

Bisnis.com, JAKARTA - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPPOD membeberkan sejumlah tantangan ke depan dengan dihapuskannya mandatory spending atau dana wajib kesehatan dari Undang-Undang Kesehatan.

Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman menyampaikan, tantangan paling besar dari hilangnya mandatory spending ini adalah komitmen politik dari pemerintah daerah (pemda).

“Karena kenyataan selama ini seluruh program daerah apalagi pemerintah pusat berjalan mulus di daerah kalau si kepala daerah punya komitmen politik, diikuti dengan kapasitas dan integritas kepala daerah, dan juga perangkat daerah dalam hal ini DPRD,” kata Armand saat ditemui di Wisma Bisnis Indonesia, Kamis (13/7/2023).

Tantangan selanjutnya, yaitu hubungan pembina pengawasan terkait dengan kebijakan implementasi program di bidang kesehatan. Lalu, kemandirian fiskal, di mana sekitar 80 persen daerah masih bergantung pada pemerintah pusat.

KPPOD pun menyesalkan hilangnya mandatory spending ini dari UU Kesehatan. Sebab, hal ini menghilangkan garansi atau jaminan kepastian dari negara terkait dengan peningkatan kualitas kesehatan. 

“Kalau misalnya mengikuti pola Kementerian Keuangan yang berdasarkan prioritas, sekali lagi apa yang menjadi pegangan kita, materi atau kontrol publik terhadap alokasi dari dana kesehatan itu?” katanya.

Mandatory spending dalam UU Kesehatan yang disahkan pada Selasa (11/7/2023) menjadi sorotan berbagai pihak. Konsep mandatory spending ini sebelumnya tercantum dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan yang mengatur bahwa alokasi pemerintah pusat untuk anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN, sedangkan dari pemerintah daerah minimal 10 persen dari APBD. Dengan adanya Omnibus Law Kesehatan ini, maka ketentuan tersebut tak digunakan lagi.

Dalam UU Kesehatan, pemerintah pusat dan daerah wajib memprioritaskan anggaran kesehatan untuk program dan kegiatan dalam penyusunan APBN dan APBD. Ini tertuang dalam beleid UU Kesehatan Pasal 409.

Pengalokasian anggaran ini juga termasuk memperhatikan penyelesaian permasalahan kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi. Selain itu, pemerintah pusat dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada pemerintah daerah, sesuai dengan capaian kinerja program dan pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Denis Riantiza Meilanova
Terkini