Bisnis.com, JAKARTA - Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memberikan corak pada karakter dan geliat perekonomian Indonesia. Dengan 64 juta UMKM di negeri ini, mulai dari kios-kios, bengkel dan pabrik yang berkegiatan tanpa henti, 99% dari semua usaha menyumbang 61% PDB dan 97% lapangan pekerjaan.
Di sisi lain, semestinya UMKM dapat terbantu oleh sistem perbankan dengan lebih baik lagi. Angka perkreditan untuk UMKM hanya berkisar 21% dari total portofolio perbankan. Berdasarkan survei UMKM yang dilakukan McKinsey, ditemukan kurang dari 40 persen kebutuhan kredit UMKM yang dipenuhi oleh institusi keuangan.
Kemudian, muncul permasalahan lainnya. Didorong oleh lebih mudahnya akses internet dan perubahan perilaku konsumen yang didasari oleh Covid-19, banyak terjadi digitalisasi dalam model operasi UMKM -lebih dari 10 juta pelaku usaha menggunakan platform online pada 2021.
Namun, secara umum UMKM digital masih berstatus under-banked (tidak memiliki akses ke produk perbankan). Bahkan pelaku UMKM digital yang telah mapan pun menghadapi sejumlah tantangan maupun kebutuhan yang tidak terpenuhi seputar perbankan di tengah cepatnya laju digitalisasi.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua tantangan yang berbeda tetapi saling berkaitan: UMKM bukan hanya membutuhkan akses layanan keuangan yang lebih baik, mereka juga mengalami peralihan ke model operasi digital yang mengubah perilaku dan kebutuhannya sehingga bank perlu mengimbanginya.
Potensi Perbankan
Terlepas dari permasalahan dan tantangan tersebut, McKinsey memperkirakan bahwa potensi perbankan UMKM dapat meningkat sebesar 9% per tahun selama lima tahun ke depan, lebih cepat dari potensi perbankan perusahaan besar.
Agar bisa mengambil bagian dalam pertumbuhan ini serta memberi layanan kepada pelaku UMKM dengan lebih baik, termasuk di sektor digital yang kian melesat, terdapat empat hal penting yang harus dilakukan oleh perbankan di Indonesia.
Pertama, merancang proposisi nilai yang berbeda dan inovatif. UMKM terdiri dari berbagai macam jenis usaha, sehingga bank perlu benar-benar memahami setiap kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi nasabah untuk kemudian memberikan produk jasa keuangan yang sederhana, terfokus, untuk mengatasi permasalahan.
Hasil survei menunjukkan bahwa empat dari 10 UMKM menyebutkan ‘pembiayaan’ sebagai salah satu dari tiga permasalahan teratas, termasuk di dalamnya waktu pemrosesan kredit yang lama dan serta persyaratan jaminan dan berkas-berkas.
Kedua, menata ulang manajemen risiko melalui data dan analitika. Sistem skor kredit efektif berbasis data tradisional dan non-tradisional yang memanfaatkan data dari mitra-mitra UMKM seperti platform e-commerce dan operator telekomunikasi dapat menggantikan proses underwriting berbasis penilaian individu.
Ketiga, memperluas penerapan digital banking dan merancang berbagai opsi pengenalan produk dan penyediaan jasa keuangan. Sebagian besar konsumen banyak menggunakan berbagai macam platform dalam proses pembelian produk yang mereka butuhkan. UMKM juga mengharapkan hal yang sama dari penyedia layanan perbankan yang mereka gunakan.
Keempat, memupuk loyalitas nasabah dengan produk dan layanan selain perbankan. Kabar baiknya, saat ini banyak fondasi yang dapat dikembangkan lebih jauh lagi: Delapan dari 10 UMKM yang disurvei menyatakan bahwa mereka merasa puas dengan bank utama mereka.
Maka dari itu, prioritasnya adalah untuk melayani para UMKM di mana pun mereka berada, baik saat ini maupun di masa mendatang. Opsi-opsi tersebut meliputi penyediaan platform perdagangan yang saling menghubungkan berbagai pelaku UMKM atau membuka peluang pertumbuhan bisnis ekspor-impor bagi para pelaku usaha.
Lebih jauh, bank dapat menawarkan sejumlah tools yang menunjang pengelolaan dan pertumbuhan bisnis, seperti sistem penggajian, jasa akuntansi, pengelolaan pengeluaran, keamanan siber, dan perpajakan, yang dapat menaikkan citra bank sebagai mitra yang atraktif bagi para pelaku usaha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel