Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ingin memperkuat industri perasuransian di Indonesia. Beberapa rencana tengah diupayakan oleh regulator, seperti halnya kenaikan modal minimum hingga klasifikasi kelas perusahaan asuransi berdasarkan modal.
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Industri IKNB OJK, Djonieri mengatakan bahwa rencana-rencana tersebut dibuat agar industri asuransi mampu bertahan dan bersaing dengan pemain global.
“Sudah saatnya industri perasuransian ini kuat, tumbuh dan sustain. Kami sebagai regulator juga memikirkan bagaimana industri asuransi ini dapat bersaing dengan pemain global,” kata Djonieri dalam acara Ngobrolin Opini Saling Silang Permodalan Asuransi yang digelar Kupasi akhir pekan lalu.
Djonieri mengatakan apabila ingin masuk ke pasar global maka equipment yang disiapkan harus lengkap. Melihat ke belakang, beberapa industri melakukan reformasi setelah dihantam, seperti halnya yang pernah terjadi pada industri bank pada 1998 di Indonesia.
Rontoknya industri tersebut, menurut Djonieri, karena krisis yang terjadi saat itu. Pada akhirnya dibuat kebijakan modal bank harus ditingkatkan setelah kejadian tersebut.
“Kita enggak usah menunggu itu, karena industri kita juga saat ini sudah babak belur dengan kasus-kasus,” tuturnya.
Kendati demikian, dia meyakini bahwa wacana penambahan modal di industri asuransi masih dalam tahap diskusi. Menurutnya, untuk saat ini rencana tersebut akan dilakukan bertahap pada 2026 dan 2028.
Dia tidak memungkiri bahwa regulator juga masih menerima masukan dari asosiasi dan pakar asuransi terkait pengaturan waktu aturan itu.
“Kalau [mau] memberikan masukan lebih panjang [waktunya] kita lihat nanti why not kan,” katanya.
Terkait pembagian kelas asuransi berdasarkan permodalan, Djonieri mengatakan hal tersebut pun masih wacana. Dia memastikan bahwa klasifikasi tersebut tidak sebanyak yang terjadi di bank, tetapi hanya ada dua golongan.
Pertama, perusahaan yang memiliki modal lebih kecil nanti bisa melakukan penjualan produk yang sederhana. Kemudian berikutnya, perusahaan dengan modal lebih besar dapat melakukan penjualan produk yang lebih kompleks.
“Kalau saya bilang dua-duanya boleh main tapi kolamnya beda. Jadi ini semua [permodalan] merupakan wacana untuk meningkatkan industri asurani menjadi global player, sehat, tumbuh, dan sustain. Jadi sedia payung sebelum hujan,” tandasnya.
Kenaikan Modal Bukan Urgensi
Di sisi lain, Pengamat Asuransi dan Dosen Program MM Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universtas Gajah Mada (UGM) Kapler Marpaung mengatakan bahwa modal bukan satu-satunta alat untuk membuat industri asuransi sehat.
“Karena ada fakta bahwa perusahaan-perusahaan yang besar itu yang tumbang modal mereka padahal cukup besar,” kata Kapler dalam diskusi yang sama.
Kapler menjelaskan sejarah peningkatan permodalan memerlukan waktu yang tidak sedikit yakni 15 tahun. Aturan permodalan menurutnya pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992. Mulanya, permodalan perusahaan yaitu sebesar Rp3 miliar untuk asuransi kerugian dan Rp2 miliar untuk asuransi jiwa.
Kemudian pada 1999 diubah melalui PP Nomor 63, dari sana muncul modal Rp100 miliar untuk asuransi dan Ro200 miliar perusahaan reasuransi.
“Mungkin ini karena sudah terjadi krisis 1998 sehingga wacana itu menjadi penting di dalam menguatkan industri asuransi supaya sehat dan kuat,” terang Kapler.
Namun, PP 63/1999 tersebut tidak berlaku untuk perusahaan yang sudah berdiri. Hanya berlaku untuk perusahaan yang baru akan berdiri. Namun ternyata tidak ada perusahaan asuransi yang kemudian berdiri hingga 9 tahun kemudian atau 2008.
Oleh karena itu muncul PP 39/2008, di mana semua perusahaan asuransi harus memenuhi modal Rp100 miliar tetapi bertahap. Pada 2008 Rp40 miliar, Rp70 miliar pada 2009, dan Rp100 miliar pada 2010.
Aturan tersebut pun tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan asuransi. Sampai muncul PP 81/2008, di mana perubahan menjadi permodalan Rp40 miliar dipenuhi pada 2010, pada 2012 Rp70 miliar dan pada 2014 Rp100 miliar.
“Baru lah terpenuhi. Artinya sejak dibuat kebijakan permodalan pada tahun 1999, 15 tahun kemudian baru bisa dipenuhi oleh teman-teman asuransi. Oleh karena itu dari Rp100 miliar menjadi Rp1 triliun, juga cukup signifikan kenaikannya pada 2026 dan 2028,” tutur Kapler.
Dia mengatakan bahwa kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan mengingat aturan sebelumnya pun baru 15 tahun terwujud. Kapler pun menilai perusahaan asuransi dengan modal besar juga tidak selalu menggunakannya untuk meningkatkan kapasitas. Artinya antara takut atau lebih senang menerima komisi reasuransi.
“Oleh karena itu, buat apa kenaikan modal yang sangat fantastis. Kalau pada akhirnya nanti hanya untuk ban serep. Padahal tujuannya bukan untuk itu,“ kata dia.
Tidak hanya itu, dia juga menyinggung terkait dengan pembagian kelas perusahaan asuransi berdasarkan permodalan. Kapler menilai bahwa perusahaan asuransi berbeda dengan bank, di mana masih ada reasuransi.
“Dengan kapasitas reasuransi yang baik masih bisa menerima pertanggungan yang besar itu, kita jangan lupa,” imbuhnya.
Untuk saat ini, Kapler menilai bahwa pembenahan industri asuransi merupakan hal yang paling penting. Diketahui ada beberapa perusahaan yang mengalami gagal bayar dan tidak sehat. Seperti halnya, Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1992, PT Kresna Life, dan PT Wanaarta Life.
“Kita sehatkan dulu yang sakit ini mereka yang memang yang sakit ini disuruh tambah modal, saya setuju yang sakit ini,baru kita benahi hal-hal yang mendasar,” katanya.
Kapler kemudian meyinggung terkait prudent underwriting, cash mangemenet dan management cadangan yang juga perlu diperbaiki. Dia juga mengatakan bahwa perusahaan asuransi dengan modal besar saat ini didominasi oleh perusahaan joint venture.
Menurutnya hal tersebut tidak bisa menjadi parameter untuk diberlakukan bagi perusahaan asuransi yang lain.
“Modal kuat perlu, tapi tidak sekarang. Banyak yang utama yang perlu kita penuhi,” tutupnya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Ogi Prastomiyono mengatakan bahwa regulator tengah mengkaji ulang aturan permodalan perusahaan asuransi.
Sejauh ini modal minimum perusahaan asuransi diatur dalam Peraturan OJK (POJK) 67/2016. Dalam aturan ini, untuk saat ini ekuitas minimum untuk perusahaan asuransi adalah Rp100 miliar, perusahaan reasuransi Rp200 miliar, asuransi syariah sebesar Rp50 miliar, dan reasuransi syariah mencapai Rp100 miliar.
OJK menilai ekuitas minimum yang berlaku saat ini dinilai terlalu rendah dibandingkan dengan risiko usaha bisnis yang dijalankan perusahaan asuransi.
“Oleh karena itu, kita akan melakukan perubahan POJK 67/2016 yang sekarang memang sedang kita edarkan [terkait rancangan POJK] ke asosiasi dan pelaku usaha jasa keuangan [PUJK] untuk mendapatkan respons,” kata Ogi dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK Bulan April 2023.
Rinciannya, ekuitas perusahaan asuransi akan dinaikkan dari Rp100 miliar menjadi Rp500 miliar pada 2026, dan menjadi Rp1 triliun pada 2028.
“Dan saat ini sudah banyak perusahaan asuransi yang sudah memenuhi syarat minimum Rp500 miliar,” ungkapnya.
Selanjutnya, untuk batas ekuitas modal minimum perusahaan reasuransi konvensional dari Rp200 miliar menjadi Rp1 triliun pada 2026, dan Rp2 triliun di 2028.
Diikuti dengan perusahaan asuransi syariah dari Rp50 miliar menjadi Rp250 miliar di 2026, dan Rp500 miliar pada 2028. Sementara itu, untuk perusahaan reasuransi syariah dari Rp100 miliar menjadi Rp500 miliar di 2026 dan Rp1 triliun pada 2028.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel