Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mempunyai peran yang lebih kuat di era omnibus law keuangan atau setelah disahkannya Undang-undang (UU) No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Lembaga ini pun kini tengah menyiapkan kuda-kuda menangani bank gagal hingga polis asuransi gagal bayar.
LPS misalnya terus meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan penanganan bank gagal. Dalam proses likuidasi serta pengawasannya, LPS menerapkan digitalisasi melalui aplikasi BLISS yang terintegrasi dengan Integrated Core System milik LPS.
Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank LPS Didik Madiyono berharap digitalisasi dalam proses penanganan bank gagal ini dapat berkontribusi terhadap percepatan pelaksanaan likuidasi.
"Saat ini rata-rata jangka waktu pelaksanaannya [likuidasi] masih 25 bulan. Kami menargetkan pelaksanaan likuidasi ke depan dapat diselesaikan dalam kurun waktu rata-rata 20 bulan," kata Didik dalam keterangannya, Senin (17/7/2023).
LPS juga gencar melakukan penguatan tim likuidasi. Tim ini memiliki tugas antara lain menyelesaikan pembubaran badan hukum bank, menyelesaikan hak-hak pegawai bank dalam rangka pemutusan hubungan kerja (PHK), serta menyelesaikan pencairan aset bank.
Didik mengatakan dibutuhkan inovasi dan kreatifitas tim likuidasi untuk mewujudkan pelaksanaan likuidasi yang efektif dan efisien, namun dengan tetap memperhatikan aspek risiko serta prinsip tata kelola yang baik.
Dengan dilakukannya penguatan tim likuidasi, proses pembayaran klaim penjaminan atas simpanan nasabah bank yang dicabut izin usahanya pun kian efisien. Tim likuidasi juga dituntut memahami fungsi dan tugas LPS dengan baik.
Menurut Didik, pengelolaan aset, terlebih pengelolaan aset bank gagal yang sudah dicabut izin usahanya tidak lah mudah, alhasil efisiensi pun dibutuhkan LPS.
Apalagi, peran LPS dalam menangani bank gagal kian diperkuat melalui lahirnya UU PPSK. Mengacu UU PPSK, LPS berperan sebagai early involvement dalam skemanya menangani bank gagal. LPS bisa mengantisipasi kesehatan bank sebelum bank tersebut benar-benar mengalami masalah solvensi.
Ketika bank yang mengalami masalah dan masuk ke dalam rencana resolusi, bank sistemik itu wajib menyusun rencana resolusi ke LPS. Kemudian, LPS akan melihat rencana resolusi itu dan selalu update.
Sebelum mengalami masalah solvensi, LPS juga bisa menangani bank dengan pinjaman jangka pendek. Kemudian, ada due diligence terkait kondisi bank secara keseluruhan. Terdapat pula penjajakan ke bank lain yang bersedia menangani aset dan penjajakan ke calon investor lain untuk ambil alih bank tersebut.
LPS juga dapat memerintahkan pemegang saham untuk mengganti direksi atau komisaris. Kemudian LPS dapat menunjuk pihak lain sebagai pengelola.
Selain menangani bank dalam resolusi, fungsi LPS juga diperkuat di dalam Komite Stabilitas Sistem keuangan (KSSK). LPS mempunyai hak voting, dari yang sebelumnya tidak punya suara di dalam KSSK.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa UU PPSK juga memperkuat koordinasi antar-anggota KSSK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Purbaya menilai perubahan pengaturan terkait kelembagaan LPS di UU PPSK bertujuan agar terdapat check and balance dengan tetap menjaga independensi LPS sehingga resolusi bank dapat dilakukan dengan efektif dan dengan tata kelola yang baik.
“Kami meyakini bahwa pada implementasinya nanti, UU PPSK akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan perekonomian nasional melalui pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang lebih optimal,” tutupnya.
Perkembangan Bank Gagal
LPS telah mencatat selama periode 2005 sejak LPS mulai beroperasi hingga 2023 terdapat 119 bank yang telah di resolusi. Ini terdiri dari 1 bank umum, 105 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan 13 Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).
Dari jumlah bank gagal itu, terdapat simpanan yang layak bayar sebesar Rp1,75 triliun. Kemudian, yang tidak layak bayar itu tercatat sebesar Rp373 miliar.
Wakil Ketua Dewan Komisioner LPS Lana Soelistianingsih mengatakan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan simpanan dinyatakan tidak layak bayar. Pertama, tidak adanya catatan aliran dana masuk di bank terkait.
"Nasabah menyampaikan simpanannya terutama lewat pegawai bank, tetapi pegawai bank-nya tidak mencatatkan sebagai bagian dari rekening nasabah sehingga akhirnya data tersebut tidak tercatat dan LPS tidak bisa melakukan verifikasi jika tidak tercatat," ujar Lana.
Faktor kedua, jaminan simpanan dinyatakan tidak layak bayar karena faktor bunga simpanan yang dipatok oleh bank jauh lebih besar dari tingkat bunga penjaminan yang telah ditetapkan LPS.
Adapun, hingga Maret 2023 LPS melaporkan telah menjamin 99,93 persen dari total rekening nasabah bank umum atau setara 510,87 juta rekening.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel