OPINI: Siklus Foniks dan Deja Vu Krisis Keuangan

Bisnis.com,08 Agt 2023, 08:00 WIB
Penulis: Aris Rudianto
“Siklus Foniks” dan Deja Vu Krisis Keuangan

Bisnis.com, JAKARTA - Di dunia fiksi, kita sering mendengar hewan mitologi Yunani yang dikisahkan hidup ratusan tahun sebelum akhirnya terbakar menjadi abu, tetapi kemudian hidup lagi dalam bentuk yang lebih indah. Hewan tersebut dikenal sebagai burung Phoenix (ejaan KBBI: Foniks). Lantas, apa kaitannya dengan krisis keuangan. 

Indonesia memiliki sejarah panjang ihwal krisis ekonomi dan keuangan. Sebut saja krisis moneter tahun 1998, krisis keuangan global tahun 2008, krisis ekonomi tahun 2013 dan terakhir krisis akibat pandemi Covid-19. Kala itu, krisis moneter 1998 meninggalkan trauma mendalam di sistem keuangan.

Mulai dari depresiasi rupiah hingga 70%, kontraksi PDB ke minus 13,13%, inflasi melejit ke level 77,63%, dan kemiskinan sebesar 24,2%. Tidak tanggung-tanggung, biaya penanganan krisis untuk bailout perbankan saat itu mencapai 70% dari PDB.

Angka jumbo tersebut menjadi salah satu biaya penanganan krisis yang tertinggi di dunia. Petaka ekonomi tersebut kemudian menginspirasi Shastry (2018) untuk menggunakan metafora burung Foniks dalam bukunya Resurgent Indonesia: From Crisis to Confident.

Tidak lain untuk menggambarkan transformasi Indonesia setelah periode sekarat akibat krisis hingga kemudian bangkit dari keterpurukan ekonomi. 

Jika dianalogikan dengan siklus Foniks, maka periode krisis tahun 1998 adalah momentum ekonomi domestik mengalami fase “terbakar menjadi abu”.

Beruntung, perekonomian nasional kemudian mampu bangkit dari kondisi sekarat dan terlahir kembali sebagai entitas baru dengan wujud yang lebih prima. Dari sini tidak dipungkiri bahwa pengalaman krisis telah mendewasakan regulasi sistem keuangan.

Berbagai kebijakan revolusioner memang telah dilahirkan. Misalnya ketentuan tentang pencegahan dan penanganan krisis keuangan, penguatan fungsi lender of the last resort Bank Indonesia melalui pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP), serta mekanisme koordinasi antarlembaga yang berwenang mencegah dan menangani krisis.

Namun, apakah hal tersebut lantas serta-merta menjamin 100% kekebalan ekonomi nasional terhadap potensi krisis. Jawabannya belum tentu. 

Belum lama ini misalnya, jagat ekonomi dan keuangan kembali meradang. Runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) di AS pada Maret 2023 seolah menghadirkan kembali deja vu labirin mimpi buruk pengalaman krisis keuangan di masa lalu. Pengabaian terhadap penumpukan risiko di sisi pendanaan dari perusahaan startup disinyalir sebagai biang keroknya.

Meskipun spektrum efek rambatan SVB ke perekonomian domestik minimal, namun perlu dicermati magnitude perusahaan rintisan dalam portfolio perbankan domestik.

Di Indonesia, perusahaan startup memang sempat menjadi polemik seiring gelombang PHK beruntun yang dilakukan dalam setahun terakhir, misalnya Shopee, Bibit, Grab, dan Ajaib. Bahkan, JDID dan Tanihub telah gulung tikar. 

Jika ditelisik lebih jauh, merujuk data Startup Ranking, Indonesia memiliki 2.492 perusahaan startup atau peringkat keenam terbesar di dunia per 10 Mei 2023.

Aspek kritikal yang perlu dijaga adalah proporsi pendanaan oleh perbankan jangan sampai terkonsentrasi ke sektor tertentu, termasuk perusahaan startup. Di tengah adanya ekspektasi startup Indonesia sebagai pemain utama di Asia ke depan, tentu mendorong perbankan untuk secara berjamaah menempatkan pendanaan ke perusahaan startup.

Ditambah lagi nilai ekonomi digital Indonesia yang fantastis, ditaksir mencapai US$130 miliar pada 2025 atau US$315 miliar pada 2030. Mengutip Laporan Startup Genome 2022, Jakarta menempati urutan ke-12 dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar emerging startup ecosystem. Aspek krusial yang perlu dicermati yaitu adanya 2 sub-indikator yang nilainya sangat rendah (skor 2 dari 10).

Pertama, indikator market reach yang mewakili kinerja penjualan bisnis di pasar global. Kedua, talent & experience yang menilai kualitas SDM. Artinya, terdapat kerentanan di tubuh perusahaan rintisan domestik yang jika tidak dikelola dengan baik berpotensi menciptakan tensi secara industry-wide apabila bersinggungan dengan gejolak eksternal. Hal ini tentu akan memengaruhi kinerja perbankan. 

Kerentanan startup di atas hanyalah satu contoh. Sebab kalau membahasa potensi krisis, sumbernya bisa dari mana saja. Maka, koordinasi pengawasan perbankan oleh keempat penjaga pilar Komite Stabilitas Sistem Keuangan (Kementerian Keuangan, BI, OJK, LPS) harus secara berkesinambungan diperkuat. Deteksi dini terhadap potensi kerentanan menjadi kunci dalam penanganan krisis keuangan. 

Siskampling Perbankan

Salah satu cara untuk melakukan deteksi dini yaitu memperkuat aspek pengawasan perbankan. Adopsi gagasan “siskampling” dalam sistem keuangan perbankan menjadi relevan dan kritikal. Hal ini mengingat jumlah perbankan nasional yang banyak dan kewenangan terkait perbankan tersebar di beberapa institusi. Untuk itu, siskampling pengawasan antarotoritas perbankan perlu terus diperkuat.

Misalnya sinergi BI-OJK terkait pengawasan rutin perbankan atau dalam konteks pemberian PLJP. Pun sinergi BI-LPS dalam penanganan bank bermasalah serta dukungan pembiayaan kepada LPS dalam rangka penanganan/resolusi bank. 

Selain BI, OJK, LPS, dan Kementerian Keuangan, terdapat satu lagi elemen krusial yang apabila disinergikan akan punya peran strategis dalam mengendalikan tensi kepanikan publik. Tidak lain adalah netizen, terutama dari kalangan content creator.

Content creator sejatinya adalah bagian integral dari semesta sistem keuangan yang mampu meredakan kepanikan publik di era digital seperti sekarang ini. Mencuatnya fenomena digital bank run yang diawali oleh kasus SVB di atas, semakin menekankan urgensi mengoptimalkan “laskar digital” tersebut ke dalam ekosistem siskampling perbankan.  

Tidak hanya itu, gagasan penguatan siskampling perbankan juga perlu melibatkan nasabah perbankan itu sendiri, utamanya pemilik dana jumbo (high net worth individual). Menurut laporan konsultan asal Inggris, Knight Frank, di tahun 2021 Indonesia memiliki 1.403 orang dengan kekayaan bersih di atas US$30 juta atau sekitar Rp469 miliar.

Jumlah tersebut diprediksi akan meningkat 29% pada 2026 menjadi 1.810 orang. Selain itu, otoritas resolusi perbankan (LPS) menyebutkan jumlah simpanan orang super kaya di bank nasional saat ini mencapai 53,2% per Januari 2023.

Angka tersebut diperkirakan akan meningkat seiring perilaku crazy rich Indonesia yang cenderung wait and see di tengah prospek ekonomi yang penuh turbulensi. Karakter deposan super kaya yang cenderung tidak terlalu sensitif dengan ancaman krisis, potensial untuk dirangkul dalam rangka hajatan menopang ketahanan perbankan.

Sinergi untuk menyusun regulasi seperti pemberian insentif suku bunga deposito jangka panjang juga bisa menjadi opsi untuk mendorong durasi simpanan. 

Belajar dari Jepang yang membuat tembok raksasa sepanjang lebih dari 390 km untuk menahan tsunami, maka perlu extra effort juga untuk memastikan ketahanan perbankan terhadap potensi krisis. Loophole pengawasan perbankan di AS yang menyebabkan SVB jatuh terjerembab, boleh jadi terjadi di Indonesia.

Disinilah kualitas koordinasi diuji. Keluwesan (agility) dalam koordinasi antarotoritas, respon yang cepat serta komunikasi yang tepat kepada publik menjadi kuncinya. Jangan sampai “siklus Foniks” berulang kembali dan membuat ekonomi domestik terjerembab menuju ke dalam krisis keuangan baru. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini