Bisnis.com, JAKARTA - Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) pada bulan Maret 2023 lalu, menjadi sebuah peristiwa besar yang mengguncang sitem keuangan Amerika.
Bagaimana tidak, sebagai bank terbesar dalam pembiayaan startup, yang menjadi ikon terhadap perkembangan ekonomi digital, dalam waktu yang singkat 48 jam, dinyatakan gagal akibat krisis permodalan yang dipengaruhi kegagalan dalam memenuhi kebutuhan penarikan dana simpanan nasabahnya.
Kondisi perekonomian yang berubah pascapandemi, menjadi salah satu penyebab keruntuhan SVB. Jika pada awal Pandemi Covid-19, suku bunga bank sentral AS (The Fed) cenderung rendah dan stabil, maka setelah pandemi berakhir suku bunga The Fed menunjukkan tren meningkat. Sejak Maret 2022, The Fed telah menaikkan suku bunga inti dari 0,25 persen menjadi 4,75 persen.
Hal tersebut berdampak pada sulitnya startup dalam membayar kewajiban atas pembiayaan yang diterima. Di sisi lain, penarikan dana simpanan mulai dilakukan oleh Nasabah sehingga SVB menjual obligasi yang dimiliki untuk mengembalikan dana nasabah.
Mengingat nilai obligasi berkaitan erat dengan suku bunga, di mana apabila suku bunga naik, nilai obligasi cenderung menurun dan begitu pula sebaliknya, maka permasalahan berikutnya yang mucul yaitu jatuhnya harga obligasi SVB.
Efek Domino SVB
Dunia perbankan memang terbukti unik dan berbeda dengan bisnis atau usaha lainnya. Sebagai lembaga kepercayaan, bank mendapatkan sumber dana dari masyarakat yang mempercayakan dananya disimpan di bank, antara lain melalui produk tabungan, deposito atau giro. Dana tersebut, kemudian ditempatkan dalam bentuk aset lancar maupun disalurkan dalam bentuk pembiayaan yang berperan penting terhadap perkembangan sektor riil dan roda perekonomian. Mempertimbangkan keterkaitan yang mungkin terjadi antara satu bank dengan bank yang lain, maka seringkali keruntuhan sebuah bank dapat menimbulkan efek domino dalam industri perbankan.
Setelah kebangkrutan SVB, Perbankan di Amerika Serikat harus menghadapi sejarah kelam lainnya yaitu gagalnya Signature Bank dan Silvergate Bank, perbankan yang fokus pada industri kripto. Ketidakstabilan harga di pasar stablecoin mempengaruhi aset bank dan permodalan yang menurun tajam. Rentetan kegagalan perbankan di Amerika Serikat masih terus berlanjut. Pada bulan April 2023, First Republic Bank mengumumkan bahwa terjadi penarikan dana Nasabah hingga 60% dari total dana pihak ketiga, harga saham perusahaan juga mengalami penurunan, dari $150 per lembar saham menjadi $5,69 per lembar saham. Kondisi ini memberikan tekanan terhadap keuangan First Republic Bank sehingga pada tanggal 1 Mei 2023 bank tersebut diambil alih oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).
Bagaimana dengan Perbankan di Indonesia
Kegagalan perbankan yang terjadi di Amerika Serikat tentunya menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun demikian Perbankan di Indonesia tetap menunjukkan kinerja yang terjaga baik. Berdasarkan Laporan Keuangan 4 bank besar Indonesia, Bank BRI, Bank Mandiri, BCA maupun BNI mencatat pertumbuhan laba cukup tinggi di atas 20%. Secara nominal, Bank BRI mencatat laba sebesar Rp15,6 tiriliun tertinggi dibandingkan 3 bank besar lainnya.
Dari aspek intermediasi, penyaluran kredit perbankan juga menunjukkan peningkatan namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam penyalurannya. Hal ini tercermin dari pertumbuhan kredit rata-rata empat bank besar di Indonesia sebesar 9,93% dan NPL yang tetap terjaga di bawah 5%.
Sistem Keuangan Indonesia Tetap Kuat
Sistem keuangan Indonesia, khususnya perbankan, tetap terjaga baik dari sisi permodalan, likuiditas, serta risiko kredit.
Data Bank Indonesia, mencatat bahwa permodalan perbankan tercermin dari Capital Adequacy Ratio (CAR) masih tinggi yaitu sebesar 26,02% jauh dari batas minimal 10%, menunjukkan bahwa perbankan di Indonesia memiliki kemampuan yang baik dalam menyediakan dana untuk mengatasi kemungkinan risiko kerugian.
Kemudian Risiko kredit juga terjaga pada level yang rendah, di mana rasio Non Performing Loan (NPL) sebesar 2,58% (bruto) dan 0,75% (neto), masih berada di bawah batas NPL sebesar 5%. Likuditas perbankan memadai, tercermin dari Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga sebesar 28,91%, yang berada jauh dari batas minimal sebesar 10%.
Pencapaian tersebut tentunya sejalan dengan membaiknya perekonomian Indonesia pascapandemi Covid-19. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2023 tercatat sebesar 5,03% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi tahun 2023 diprakirakan tetap kuat pada batas atas kisaran 4,5-5,3%, didorong oleh perbaikan permintaan domestik dan tetap positifnya kinerja ekspor.
Sinergi Kebijakan Melalui Bauran Kebijakan Nasional
Di tengah ketidakpastian perekonomian global, Bank Indonesia melanjutkan kebijakan yang bersifat pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
Salah satunya adalah melalui kebijakan makroprudensial akomodatif, untuk mendorong pertumbuhan intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan, dengan tetap menjaga ketahanan sistem keuangan serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan.
Di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat kebijakan yang antisipatif melalui peningkatan infrastruktur, pengawasan, dan tata kelola di sektor keuangan, serta pelindungan konsumen.
Untuk mengatasi scarring effect akibat pandemi, OJK memberikan stimulus restrukturisasi kredit atau pembiayaan berupa tambahan periode selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 2024 secara targeted untuk segmen UMKM, sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta industri yang menyediakan lapangan kerja besar yaitu industri tekstil dan produk tekstil serta industri alas kaki.
Kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga tetap diarahkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
Di tengah tren kenaikan suku bunga acuan, LPS turut menaikkan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) bagi simpanan dalam Rupiah di bank umum menjadi sebesar 3,75% dan BPR menjadi 6,25%, serta untuk simpanan dalam valas di bank umum menjadi 0,75%.
Pandemi Covid-19 yang terjadi, membawa perubahan yang mengakselerasi pertumbuhan industri teknologi dan kesehatan. Namun demikian dampak pascapandemi, juga perlu terus menjadi perhatian.
Kegagalan SVB tentunya menjadi sebuah lesson learned tidak hanya bagi industri keuangan tetapi juga otoritas terkait, yaitu Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Sinergi antar otoritas melalui forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu terus diperkuat agar stabilitas sistem keuangan Indonesia tetap terjaga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel