Bisnis.com, JAAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan unit usaha syariah (UUS) bank umum konvensional (BUK) untuk melakukan pemisahan (spin off) ketika telah memiliki total aset 50% dari total aset BUK dan/atau minimal Rp50 triliun paling lambat 2 tahun mendatang (31 Desember 2026). Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan?
Kewajiban itu tertuang pada Peraturan OJK No. 12/2023 tentang Unit Usaha Syariah efektif 12 Juli 2023. Kewajiban itu dikaitkan dengan konsolidasi perbankan syariah yang sampai saat ini boleh dikatakan jalannya lambat.
Pasal 61 POJK itu menitahkan OJK dapat meminta pemisahan UUS dalam rangka konsolidasi perbankan syariah untuk pengembangan dan penguatan perbankan syariah. Permintaan itu dapat dilakukan dengan mempertimbangkan UUS tidak mengalami pertumbuhan secara signifikan, BUK yang memiliki UUS dinilai tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan UUS tersebut, kebutuhan strategi pengembangan perbankan syariah dan/atau faktor lain.
Selama ini, konsolidasi perbankan dapat dilakukan dengan merger dan akuisisi. Menurut Bank Indonesia, konsolidasi perbankan memiliki tiga tujuan, pertama, untuk meningkatkan economies of scale dan economies of scope. Lugasnya, penggabungan beberapa bank akan menghasilkan sinergi dalam bentuk efisiensi biaya operasional untuk menghasilkan diversifikasi produk perbankan yang lebih baik.
Tujuan kedua adalah untuk meningkatkan kemampuan permodalan guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Konsolidasi amat diharapkan dapat mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit dengan lebih baik dan terjaga (sustainable). Pertumbuhan kredit yang subur bermanfaat untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi.
Tujuan ketiga adalah untuk meningkatkan daya saing perbankan yang didukung bank-bank yang maju dan sehat dalam menghadapi persaingan global.
PERTIMBANGAN
Lantas, faktor apa saja yang layak dipertimbangkan supaya pemisahan UUS dapat berjalan lancar?
Pertama, sejauh mana kinerja UUS? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan OJK pada 28 Juli 2023 menunjukkan jumlah BUK yang memiliki UUS mencapai 22 buah per Mei 2022, turun menjadi 20 buah per Mei 2023 dengan jumlah kantor UUS 444 unit naik menjadi 453 unit.
SPI mencatat pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank naik 10,83% dari Rp160,73 triliun menjadi Rp178,13 triliun. Dana pihak ketiga (DPK) pun naik 14,87% dari Rp168,94 triliun menjadi Rp194,06 triliun. Financing to deposit ratio (FDR) turun dari 95,14% menjadi 91,79% di bawah ambang batas 78%—92%. Artinya, pembiayaan UUS tumbuh moderat.
Namun, laba UUS naik 12,23% dari Rp3,68 triliun menjadi Rp4,13 triliun. Sayangnya, laba itu belum mampu mendorong kenaikan rasio imbal hasil aset (return on assets/ROA) yang tetap 1,66% masih di atas ambang batas 1,5%. Intinya, kualitas aset UUS kian membaik.
Tingkat efisiensi yang tampak pada rasio biaya operasional/pendapatan operasional (BOPO) naik dari 79,41% menjadi 83,26% sedikit di atas ambang batas 70%—80%. Maknanya, UUS cukup efisien. Rasio kredit bermasalah (non performing financing/NPF) makin membaik dari 2,51% menjadi 2,17% jauh di atas batas aman 5%. Sarinya, kualitas kredit UUS baik.
Kedua, ada berapa UUS yang sudah memiliki total aset minimal Rp50 triliun? UUS Bank CIMB Niaga memiliki total aset Rp66,14 triliun per 30 Juni 2023. Kemudian menyusul UUS Maybank Indonesia Rp43,29 triliun, UUS Bank Permata Rp35,39 triliun dan UUS Bank Danamon Indonesia Rp12,25 triliun (CNBC Indonesia, 3 Agustus 2023).
Dengan demikian, hingga kini baru UUS Bank CIMB Niaga dengan total aset Rp66,14 triliun per 30 Juni 2023 yang telah melewati persyaratan minimal Rp50 triliun. Segera menyusul UUS BTN dan UUS Maybank Indonesia dengan total aset Rp46,27 triliun dan Rp43,29 triliun per 30 Juni 2023.
Ringkas tutur, dapat diduga akan terjadi merger UUS untuk menjadi bank umum syariah dengan ‘paksaan’ model OJK. Hal itu bisa terjadi tatkala pada batas waktu akhir 2026 terdapat BUK yang dinilai tidak mampu mengembangkan UUS.
Ketiga, sejatinya, sebagian besar UUS BUK masih mengalami banyak kendala. Pada umumnya tatkala UUS berpisah dari BUK yang berarti menjadi bank umum syariah (BUS), UUS akan menghadapi masalah dalam permodalan.
Mengapa? Karena BUS wajib memenuhi modal inti minimum Rp3 triliun pada 31 Desember 2022 sesuai dengan POJK No. 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Aturan yang efektif 17 Maret 2020 itu bertujuan untuk memperkokoh struktur, ketahanan dan daya saing perbankan.
Keempat, hal itu ditambah lagi manakala BUS wajib memiliki sistem akuntansi tersendiri yang terpisah dari induknya BUK. Pemisahan itu akan makan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Namun, hal itu hendaknya dituntaskan segera untuk mitigasi risiko operasional berupa kesalahan data.
Kelima, sejauh mana total pembiayaan bank syariah dibanding bank umum konvensional (BUK)? Pembiayaan bank syariah Rp337,13 triliun per Mei 2023 atau hanya 5,13% dari total kredit BUK Rp6.577,08 triliun pada periode yang sama.
Mengapa pangsa pasar perbankan syariah masih di bawah 10% perbankan konvensional setelah 3 dasawarsa tumbuh di Indonesia? Padahal mayoritas muslim penduduk Indonesia merupakan basis nasabah (customer base) yang maha luas. Hal itu bagai mutiara yang belum digosok dengan jitu.
Keenam, untuk itu, bank syariah perlu transformasi strategi bisnis, manajemen, produk dan jasa berbasis digital dan SDM. Tingkat literasi keuangan syariah dan inklusi keuangan syariah perlu dikerek lebih tinggi yang kini baru mencapai 9,14% dan 12,12% pada 2022.
Ketika aneka pertimbangan itu telah terpenuhi, pemisahan UUS diharapkan dapat berjalan mulus. Konsolidasi perbankan syariah pun dapat berjalan lancar. Sungguh!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel