Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia masih menghadapi aral yang tidak mudah dalam mewujudkan mimpi menjadi pemasok utama komponen baterai maupun baterai kendaraan listrik berbasis nikel dunia. Pasalnya, sejumlah negara yang menjadi pasar global potensial mengatur ketat rantai pasok industri baterai kendaraan listrik mereka.
Amerika Serikat (AS) misalnya, memiliki paket kebijakan insentif rantai pasok kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan energi baru terbarukan (EBT) lewat Inflation Reduction Act (IRA). Lewat regulasi itu, pemerintah AS akan mensyaratkan nilai tertentu dari komponen baterai EV harus diproduksi atau dirakit di AS, atau berasal dari negara yang telah memiliki perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dengan AS.
Sementara itu, Uni Eropa (UE) memiliki Critical Raw Materials Act (CRM) yang membatasi asal mineral kritis dan pabrikan kendaraan listrik untuk mendapat subsidi pemerintah setempat. CRM mewajibkan agar pabrik hilir dari turunan mineral kritis seperti sel baterai mesti berdekatan dengan industri mobil listrik di negara anggota UE. Kebijakan itu ingin memastikan nilai tambah pengolahan mineral tetap berada di Benua Biru.