Bisnis.com, JAKARTA — Persiapan yang matang perlu dilakukan ketika ingin menjadi pemberi pinjaman (lender) pada platform teknologi finansial peer-to-peer lending (tekfin P2P lending) alias pinjaman online (pinjol).
Hal tersebut untuk menghindari risiko yang mungkin terjadi seperti kredit macet dan gagal bayar. Kredit macet tekfin P2P lending tengah menjadi sorotan, ada 23 platform yang memiliki tingkat kredit bermasalah atau TWP90 di atas 5 persen.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan investasi pada tekfin P2P lending masih menarik dengan catatan calon lender harus memperhatian beberapa hal.
Pertama, teliti dengan rekam jejak platform yang akan digunakan. “Kedua harus melakukan analisis mendalam kepada borrower [peminjam] atau project [proyek] yang dibiayai, jadi harus melihat track record dari calon borrower,” kata Bhima kepada Bisnis, Rabu (13/9/2023).
Bhima mengatakan calon lender dan platform bisa mengecek rekam jejak sang peminjam dengan catatan pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian, apabila ada kesempatan calon lender juga dapat melihat proyeknya secara langsung.
Misalnya saja usaha Wedding Organizer (WO) yang tengah naik daun. Tidak hanya itu, lanjut Bhima, calon lender juga dapat bertemu langsung dengan peminjam, khusunya untuk lender yang sifatnya skala besar.
Ketiga, Bhima mengatakan calon lender harus memilih platform yang memiliki asuransi kredit dengan kredibilitas tinggi.
“Ini harus dicari fintech yang perusahaan asuransinya atau penjaminan kreditnya kredibel. Kemudian bisa menjadi pengawas juga, asuransi di fintech ini juga bisa menjadi pengawas juga kan, bisa mengaudit juga,” katanya.
Bhima menyinggung ada beberapa sektor tekfin P2P lending yang dideru masalah, salah satunya sektor pertanian. Kendati demikian, dia optimistis bahwa masih ada prospek di beberapa segmen usaha.
“Tidak menutup kemungkinan kan ekonomi. kreatif dan sektor-sektor UMKM lainnya memang saat ini tengah berkembang dan membutuhkan pinjaman yang jangka pendek. Tapi harus dijauhi lah fintech lending yang konsumtif karena mungkin manajemen risikonya jadi kurang,” katanya.
Tidak hanya itu, Bhima mengatakan calon lender juga bisa melakukan diversifikasi invetasi dengan menbagi ke empat atau lima projek atau borrower yang berbeda. Secara makro, lender juga bisa menggunakan instrumen invetasi lain seperti saham, reksadana, dan surat utang.
“Karena memang risiko tekfin P2P lending relatif tinggi, jadi harus diimbangi dengan portofolio lain yang rendah risiko,” katanya.
Di sisi lain, Perencana Keuangan sekaligus Founder dan CEO PT Solusi Finansialku Indonesia (Finansialku) Melvin Mumpuni mengatakan invetasi pada pinjol masih prospek. Dia menyebutkan dalam berinvetasi perlu menerapkan manajamen risiko.
“Sebagai investor kita perlu belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Kita perlu concern di manajemen risiko,” kata Melvin kepada Bisnis, Rabu (13/9/2023).
Melvin setuju bahwa untuk meminimalkan risiko pada tekfin P2P lending, calon lender harus memilih platform yang tepat. Beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan yakni tingkat keberhasilan kredit TKB90, asuransi yang dimiliki, hingga bunga.
“Jadi fokus pada manajemen risiko. Apakah ada beberapa perlindungan jika terjadi gagal bayar,” imbuhnya.
Dia juga menilai pentingnya diversifikasi untuk mengurangi risiko. Beberapa instrumen lainnya yang bisa menjadi alternatif yakni invetasi di pasar modal, seperti saham, reksa dana, obligasi, termasuk obligasi pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel