Bisnis.com, JAKARTA— Tren pembiayaan alat berat diprediksi akan mengalami penurunan pada 2024. Hal tersebut lantaran permintaan terhadap alat berat kemungkinan akan menyusut.
Perlambatan produksi alat berat juga sudah mulai terlihat pada paruh pertama tahun ini, dibandingkan dengan tahun lalu yang mencatatkan peningkatan drastis. Himpunan Alat Berat Indonesia (HINABI) mencatat produksi alat berat untuk konstruksi dan pertambangan meningkat pesat pada 2022 menjadi 8.826 unit.
Catatan tersebut juga terbilang paling tinggi dibandingkan 23 tahun belakangan. Namun dibandingkan tahun lalu produksi alat berat untuk konstruksi dan pertambangan sedikit menyusut pada paruh pertama 2023 yakni 4.014 dari 7.458 pada semester I/2023.
“Penjualan alat berat pada 2022 meningkat pesat, tahun ini sedikit turun. Dan yang saya dengar tahun depan akan turun,” kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno kepada Bisnis, Jumat (15/9/2023).
Suwandi mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi turunnya pembiayaan alat berat pada 2024. Menurutnya kebutuhan alat berat tidak sama dengan kendaraan yang cenderung konsumtif.
Menurutnya seseorang bisa mengganti mobil hanya dalam kurun waktu tiga atau empat tahun. Sementara itu, untuk alat berat perusahaan bisa saja baru membeli kembali tujuh sampai delapan tahun mendatang.
Beberapa sektor yang membutuhkan alat berat antara lain pertambangan, konstruksi, agrikultur perkebunan dan kehutanan.
“Untuk konstruksi penggunaan alat berat dalam sebulan itu tidak banyak. Untuk pertambangan pun yang bisa 24 jam, lima tahun kemudian kemungkianan hanya ganti sparepartnya [tidak langsung beli baru],” katanya.
Tidak hanya itu, Suwandi mengatakan bahwa pertumbuhan pembiayaan alat berat sebelumnya ditopang oleh permintaaan yang tinggi pada industri pertambangan. Dimulai pada 2020, permintaan nikel hingga baru baru meningkat pesat.
Harga dua komoditas tersebut pun naik, yang membuat perusahaan-perusahaan pertambangan meningkatkan produksinya. Suwandi menyebut isu green financing juga belum mempengaruhi industri alat berat.
“Disatu sisi terjadinya perang Rusia dan Ukraina membuat negara-negara Eropa pemasok gasnya juga di kurangi oleh Rusia. Ketimbang mereka kedinginan mereka punya power plant yang bertenaga batu bara dijalankan lagi, ada demand lagi. Dengan demand itu, Indonesia menambang dan mengekspor,” tuturnya.
Kendati demikian, Suwandi tidak dapat memprediksi sampai kapan permintaan tersebut akan terus meningkat. Meskipun masih ada permintaan, ramainya belanja alat berat sudah terjadi pada tahun lalu, sehingga kemungkinan trennya akan melambat tahun depan.
Namun Suwandi tetap optimistis industri pembiayaan alat berat masih akan berjalan baik. Portofolio bisa ditopang oleh pembiayaan untuk alat berat bekas dan modal kerja.
“Jadi ada alternatif pembiayaan. Tapi untuk pembiayaan alat barunya turun, nanti suatu saat juga ada peningkatan lagi kalau alatnya sudah semakin tua,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel