Bisnis.com, JAKARTA -- Bank jumbo Tanah Air seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), maupun bank asing raksasa yang beroperasi di Indonesia seperti Citibank, N.A., Indonesia (Citi Indonesia) maupun DBS Indonesia melakukan perubahan strategis dalam pendekatan bisnis mereka terhadap sektor pertambangan, khususnya batu bara. Langkah baru pengucuran kredit ini guna mendukung pencapaian target program pemerintah dalam Environment, Social, dan Governance (ESG).
Citi Indonesia misalnya, sejalan dengan Citigroup secara global yang menyalurkan kredit ke segmen ESG sebesar US$1 triliun sampai 2030 perusahaan berupaya mengurangi bisnis ke sektor batu bara. Saat ini kredit ESF global perusahaan telah mencapai US$348,5 miliar per Desember 2022.
Head of Banking, Capital Markets and Advisory Citi Indonesia Anthonius Sehonamin menyampaikan meski akan melakukan pengurangan pendanaan ke sektor batu bara, namun hal itu tidak bisa sepenuhnya dilakukan secara sekaligus. Pasalnya, untuk saat ini batu bara tetap dibutuhkan setidaknya 10 hingga 30 tahun lagi sebagai sumber daya listrik.
“Jadi sekarang saya pikir arahnya [Citi Indonesia] akan ke green resources. Jadi mungkin kalau yang batu bara ini ya pelan-pelan mungkin agak dikurangi tapi bukan berarti kita tidak komitmen terhadap batu bara, karena klien-klien kami pun ada di sektor ini,” ujarnya dalam Media Workshop di Jakarta, akhir pekan lalu (21/9/2023).
Menariknya, pria yang kerap disapa Seho ini menyampaikan justru yakin bahwa Citi Indonesia tidak akan mengurangi kredit tambang. Melainkan, pihaknya akan membidik sektor pertambangan yang lebih bervariasi, seperti emas, tembaga, nikel, bauksit serta aluminium oksida.
Baginya, strategi yang dilakukan seiring dengan visi pemerintah Indonesia yang berfokus pada bergeser dari tahap hulu (upstream) ke tahap hilir (downstream) dalam industri pertambangan.
“Jadi kalau ditanya apakah kita mengurangi [penyaluran kredit tambang], nggak sih. Artinya, ini terjadi shifting, di mana mungkin dulu 10 tahun lalu mungkin orang liatnya coal [batu bara] aja gitu tapi sekarang lebih banyak justru spectrum of commodity,” ungkapnya.Bahkan, menurut Seho, pendanaan untuk perusahaan pertambangan sebenarnya diperkirakan akan meningkat, mengingat prospek Indonesia yang akan mengembangkan ekosistem kendaraan listrik (EV) dalam beberapa tahun mendatang.
Pada kesempatan yang sama, Head of Global Network Banking Citi Indonesia Wit Oemar pun menegaskan Citi Indonesia tidak hanya berfokus pada pembiayaan yang terkait dengan lingkungan (green) atau energi terbarukan (renewable energy).
Namun juga terus memberikan dukungan ke berbagai perusahaan asalkan perusahaan-perusahaan tersebut memiliki sudut pandang atau komitmen yang memperhitungkan aspek-aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik dalam bisnis mereka.
"Kami melihatnya kan ESG related financing. Jadi tidak cuma green atau energi terbarukan. Sebenarnya bisa ke semua perusahaan selama mereka punya angle yang bisa menilai apakah itu E, atau S, atau G," ucapnya.
Adapun, jika dilihat berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis OJK, kredit untuk industri pertambangan dan penggalian mencapai Rp256,41 miliar pada Mei 2023, angka ini naik dari yang sebelumnya Rp187,43 miliar secara tahunan (year-on-year/yoy).
Sementara jika dilihat secara bulanan, tercatat sejak Januari mencapai Rp220,96 miliar, lalu Februari Rp230,13 miliar, disusul Maret Rp237,22 miliar dan terakhir April 2023 mencapai Rp232,25 miliar.
Seiring dengan perkembangan ini, jika melihat pendekatan yang diambil oleh berbagai bank terhadap sektor batu bara dalam konteks keberlanjutan pun cukup bervariasi.
Misalnya, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang mencatat komposisi kredit perseroan untuk sektor batu bara sangatlah kecil.
Per Juni 2023, porsi kredit batu bara hanya sebesar 0,4 persen dari Rp735,9 triliun total kredit yang disalurkan perseroan. Pembiayaan ini pun dilakukan dalam rangka mendukung penyediaan pasokan listrik bagi masyarakat.
EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menyebut sebagai bagian dari perbankan nasional pada prinsipnya mendukung berbagai kebijakan pemerintah, regulator, serta otoritas perbankan dalam rangka percepatan transisi energi serta pencapaian target penurunan emisi karbon di Indonesia.
“Kami terus mendorong portofolio kredit keuangan berkelanjutan [sustainable finance]. Penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan naik 6,9 persen year-on-year mencapai Rp181 triliun di Juni 2023, berkontribusi hingga 24,3 persen terhadap total portofolio pembiayaan BCA,” sebutnya pada Bisnis beberapa waktu lalu.Di sisi lain, Direktur Institutional Banking DBS Indonesia Kunardy Lie mengatakan perseroan secara perlahan mengurangi pembiayaan dan tetap membuka peluang pembiayaan batu bara, dengan catatan untuk melakukan transisi energi.
Hal ini lantaran, meski batu bara menjadi sumber energi paling murah di Indonesia dan peluang membiayai batu bara masih besar, tetapi bank tidak bisa terus menerus membiayai proyek batu bara karena dampaknya akan sulit mendapat perlindungan asuransi.
“Semua orang sudah menghindar ke sana [batu bara], apalagi global warming kan makin parah. Sebenarnya, kita harus mengimbangi ESG dengan energy security, karena tidak mungkin tiba-tiba gelap gulita. Makanya batu bara harus secara bertahap di shut down, misal waktunya masih 20 tahun, ya kita coba kurangi jadi 15 tahun, ini kan cara kontribusi kita,” katanya.
Saat ini, DBS Indonesia mencatat menyalurkan pembiayaan senilai US$200 juta kepada sebuah perusahaan yang berhubungan dengan industri batu bara.
“Namun, penting untuk dicatat bahwa pembiayaan ini tidak langsung terkait dengan tambang batu bara atau eksploitasi batu bara, melainkan digunakan untuk aktivitas atau proyek yang lebih berkelanjutan,” ucap Kunardy. Kunardy pun optimistis perseroan mampu membidik pembiayaan berkelanjutan hingga Rp5,5 triliun pada akhir tahun ini.
Tercatat, penyaluran kredit hijau Bank DBS Indonesia sendiri telah membukukan pembiayaan keberlanjutan, termasuk transition loan sebesar Rp4 triliun per Juli 2023 atau naik 253 persen sejak tahun lalu.
Selanjutnya, saat disinggung soal pembiayaan ke arah charging station, DBS Indonesia sangat tertarik untuk bisa memberikan financing ke segmen tersebut.
“PLN saat ini sedang me-rollout charging station sebagai infrastukttur di Indonesia, kalau berbicara EV [electric vehicle], ya ini sangat penting, karena EV perlu infrastruktur charging, kalau enggak ya enggak bisa jalan. Jadi, ini akan menjadi ekosistem yang menyatu,” ujarnya pada Bisnis beberapa waktu lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel