Bisnis.com, JAKARTA - Kini kartu kredit mulai tertikam oleh laju paylater satu model pembayaran “membeli dulu, membayar kemudian” (buy first, pay later) yang semakin digandrungi masyarakat luas.
Apa tantangan kartu kredit dalam melawan tikaman paylater? Mungkinkah bank akan menerbitkan paylater ke depan sehingga berhadapan head to head dengan paylater?
Sejauh mana pertumbuhan kartu kredit? Statistik Sistem Pembayaran dan Infrastruktur Keuangan (SPIP) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) pada 18 September 2023 menunjukkan bahwa jumlah kartu kredit naik 5,74% dari 16,73 juta unit per Juli 2022 menjadi 17,69 juta unit per Juli 2023.
Volume transaksi kartu kredit naik 22,75% dari 28.130 juta menjadi 34.530 juta. Volume transaksi itu meliputi transaksi tunai yang naik 6,21% dari 435.000 transaksi menjadi 462.000 transaksi dan transaksi belanja yang naik 23,01% dari 27.695.000 transaksi menjadi 34.068.000 transaksi.
Sementara itu, nilai transaksi kartu kredit naik 30,60% dari Rp26,45 triliun menjadi Rp36,13 triliun. Nilai transaksi itu terdiri dari nilai transaksi tunai yang naik 10,67% dari Rp656 miliar menjadi Rp726 miliar. Sebaliknya, nilai transaksi belanja naik signifikan 37,41% dari Rp25,77 triliun menjadi Rp35,41 triliun.
Dengan bahasa lebih bening, jumlah kartu kredit ternyata masih mampu tumbuh 5,74% secara tahunan (yoy). Bahkan, transaksi kartu kredit tumbuh lebih baik 22,75%. Itulah sekejap kinerja kartu kredit hingga Juli 2023 di tengah gempuran paylater dan dompet elektronik (e-wallet) lainnya. Sebut saja, DANA, OVO dan Go-Pay.
Apa itu paylater? Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), paylater adalah istilah pada transaksi pembayaran barang atau jasa. Institusi penyedia layanan akan memberikan dana talangan kepada peminjam untuk membayar transaksi barang atau jasa yang dibutuhkan.
Sungguh, paylater sangat mirip dengan kartu kredit tetapi tanpa menggunakan kartu kredit. Apa bedanya? Penerbit kartu kredit akan mengenakan bunga ketika peminjam tidak melakukan pelunasan pembayaran pada saat jatuh tempo. Sebaliknya, ketika peminjam melakukan pelunasan pada saatnya, penerbit kartu kredit tidak akan mengenakan bunga. Hal itu berbeda dari paylater yang akan langsung mengenakan bunga pada jumlah pembayaran pada saat jatuh tempo.
Siapa penerbit kartu kredit? Bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Ada beberapa penerbit paylater seperti Shoppee Paylater (SPayLater), Gopay Paylater, Kredivo, Akulaku, Ovo Paylater, Traveloka Paylater, Home Credit, Indodana, Julo dan Empatkali.
Aneka Tantangan
Lantas, apa saja tantangan kartu kredit ke depan supaya tidak semakin hanyut ditelan paylater?
Pertama, sudah barang tentu, paylater lebih praktis karena tanpa kartu sehingga makin mudah bagi masyarakat untuk memeluknya dengan segera. Sebaliknya, kartu kredit mengenakan biaya penggantian kartu misalnya karena hilang atau rusak Rp 100.000, biaya cetak tagihan Rp20.000/tagihan dan biaya pelampauan batas kredit Rp150.000.
Di sisi lain, kartu kredit tetap unggul dalam bunga pembelanjaan sekitar 1,75%/bulan, biaya penarikan tunai 1,75%/bulan dan biaya keterlambatan pembayaran 1% dari total tagihan atau minimal Rp100.000. Sebaliknya, paylater mengenakan biaya pembelanjaan lebih tinggi sekitar 2,95% dan biaya keterlambatan pembayaran sekitar 5%/bulan dari seluruh tagihan.
Kedua, paylater sering promosi berupa diskon (cashback) atau gratis biaya kirim sehingga nasabah merasa semakin dimanjakan! Bagaimana kartu kredit? Kartu kredit tampaknya jarang memberi diskon kecuali hadiah penukaran jumlah poin yang dapat ditukarkan misalnya dengan voucher belanja.
Ketiga, oleh karena itu, penerbit kartu kredit yakni bank dan LKBB harus berani berubah (adaptif), kreatif untuk mengerek nilai (value creation) dan mengubah produk dan jasa berbasis digital. Bahkan mereka harus berani melakukan transformasi (perubahan besar-besaran) kartu kredit dengan menawarkan model bisnis (business model) anyar dan segar.
Model bisnis macam apa itu? Dengan bahasa yang lebih lugas, kartu kredit perlu bertransformasi menjadi tanpa kartu seperti paylater. Apakah mungkin? Mengapa tidak? Barangkali gagasan itu kini dianggap ngawur, namun coba pertimbangkanlah dengan matang. Kelak, kartu kredit tanpa kartu akan muncul untuk mampu menyaingi paylater dan aneka dompet elektronik.
Keempat, sekalipun kelak kartu kredit tanpa kartu dan paylater sama-sama menyediakan limit pembayaran, namun kartu kredit tanpa kartu tetap dapat ditarik tunai sebaliknya paylater tidak. Hal itu menjadi fitur baru sama sekali!
Namun, harap selalui ingat bahwa baik kartu kredit maupun paylater menyimpan potensi risiko. Apa bentuknya? Kedua fasilitas itu dapat mendorong orang untuk berperilaku konsumtif. Asal belanja hanya karena “lapar mata” bukan karena kebutuhan (needs).
Kelima, bahkan kartu kredit, paylater dan aneka dompet digital dapat menjerat utang bagi pemegangnya ketika utang telah melebihi kemampuan membayar kembali (repayment capacity). Hal itu bisa terjadi karena begitu mudahnya memperoleh dan menggunakannya.
Keenam, apalagi, penerbit kedua fasilitas pembayaran itu kurang gencar dalam melakukan sosialisasi dan edukasi kepada nasabah mereka. Untuk itu, BI dan OJK sudah seharusnya terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pemegang kartu kredit, paylater dan dompet digital.
Sosialisasi dan edukasi tersebut sudah sepatutnya bukan hanya memuat madu (manfaat) tetapi juga racun (potensi risiko) kartu kredit dan aneka pembayaran digital. Dengan demikian, bisnis pembayaran semakin gemerincing dan kepentingan konsumen kian terlindungi. Sungguh!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel