Bisnis.com, JAKARTA - Awan suram menyelimuti nasib mata uang Garuda sepanjang pekan lalu. Nilai tukar rupiah "ambruk" hingga menembus batas Rp15.600 per dolar AS. Ramuan Kebijakan atau 'jamu ampuh' dari Bank Indonesia (BI) dinanti untuk menyelamatkan rupiah dari keperkasaan dolar AS.
Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pekan depan masih dalam fase bearish. Akhir pekan lalu, Jumat (6/10/2023), rupiah ditutup menguat akhir pekan ke level Rp15.612. Penguatan tersebut terjadi jelang rilis data nonfarm payrolls (NFP AS). Sejalan dengan penguatan rupiah, sederet mata uang Asia lainnya juga terpantau menguat terhadap dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg yang dikutip Jumat, (6/10/2023) pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup menguat 0,04 persen atau 5,5 poin ke level Rp15.612 per dolar AS, setelah ditutup naik pada perdagangan kemarin. Sementara itu, indeks mata uang Negeri Paman Sam terpantau menguat 0,09 persen ke posisi 106,42 pada sore ini.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan bahwa dengan kondisi melemahnya nilai tukar rupiah saat ini merupakan akibat ekspektasi naiknya Fed Funds Rate (FFR), Bank Indonesia (BI) dan pemerintah perlu melakukan intervensi.
Chatib yang juga mengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) tersebut menjelaskan penelitiannya atas apa yang disebut dengan The Impossible Trinitiy. Jika BI ingin memiliki independent monetary policy, lanjutnya, maka nilai tukar bergerak mengikuti pasar dan modal bergerak bebas.
Masalahnya, Chatib melihat BI tidak mungkin sepenuhnya mengadopsi floating exchange rate karena akan mendorong depresiasi rupiah yang terlalu tajam. Artinya dapat membuat exchange rate overshoot, mengingat ada trauma krisis 1998 silam.
Di sisi lain, BI juga tidak bisa mengerek tinggi suku bunga seperti yang dilakukan Federal Reserve (The Fed), karena Indonesia memiliki misi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Bila BI ingin menjaga rupiah, maka opsinya adalah menaikkan bunga mengikuti FFR untuk menjaga paritas bunga, atau intervensi di FX market atau kombinasi keduanya. Dugaan saya saat ini yang dilalukan adalah intervensi FX market,” ujarnya dalam unggahan resmi Instagram @chatibbasri, dikutip Minggu (8/10/2023).
Chatib melihat bahwa Intervensi di FX market atau pasar valas yang BI lakukan dengan menambah suplai dolar dan menyerap rupiah. Akibatnya, likuditas rupiah menjadi lebih ketat. Pada saat yang sama, surplus anggaran (fiskal) yang terjadi, juga membuat likuditas semakin ketat.
Selain itu, Chatib melihat penting untuk mengakselerasi belanja pemerintah. Pasalnya. Belanja pemerintah pusat hingga bulan kedelapan 2023 baru Rp1.170 triliun atau 52,1 persen dari pagu.
Bukan hanya persoalan belanja, fenomena El Nino menjadi serius untuk Indonesia, yang mendorong kenaikan harga beras yang perlu diantisipasi. Kenaikan harga beras punya dampak yang signifikan utk kelompok miskin dan rentan. Jika harga beras terus naik, dan supply dunia terbatas, maka subsidi untuk kelompok rentan perlu diberikan.
“Perluas coverage [distribusi] BLT, PKH dan perlindungan sosial. Prioritas fiskal menjadi sangat penting. Belanja pemerintah perlu diarahkan untuk membantu kelompok menegah bawah dan rentan,” tutupnya.
Gara-gara The Fed
Senada dengan Chatib, Bank Indonesia (BI) mengungkapkan penyebab melemahnya nilai tukar rupiah ke level Rp15.600 akibat sikap dari anggota Federal Reserve atau The Fed yang memberikan sentimen atau dampak terhadap pasar global.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyampaikan bahwa pada dasarnya sentimen pasar pada satu minggu sebelumnya dalam kondisi yang aman karena The Fed batal menaikkan suku bunga atau Fend Fund Rate (FFR) per September 2023.
“Tiba-tiba 2 hari lalu, board member menyampaikan 'Wah, ini inflasi masih tetap tinggi di atas, kita juga masih melihat beberapa leading indicator masih trending up, makanya The Fed harus mempertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang lama'. tambahan lagi November akan ada kenaikan FFR. Kalau naik lagi 25 bps berarti sama dengan BI rate kita 5,75 persen,” ujarnya dalam Seminar Nasional dengan tema Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) di Jakarta, Senin (4/10/2023).
Menurutnya, akibat pernyataan board member The Fed tersebut memberikan efek yang sangat besar bagi pasar global. Sebagai contoh, bila salah satu dewan gubernur BI memberikan pernyataan A, market akan bereaksi luar biasa, sementara dewan gubernur lainnya memberikan pernyataan B.
Destry menjelaskan, akibat dari sikap board member The Fed tersebut, DXY atau index dolar naik dan mengerek US Treasury tenor 10 tahun, bahkan mencapai posisi tertingginya sejak 2007.
Indonesia pun ikut terkena dampaknya dengan bond yield yang ikut terkerek sehingga menekan nilai tukar rupiah. Meski kenyataannya, dia menilai kondisi ekonomi Indonesia masih resilien dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 5 persen selama 7 kuartal terakhir.
“Rupiah kita mulai tertekan, ini kondisi global yang sebenernya kita [Indonesia] everthing's okay di domestik, relatif aman, kita masih bisa tumbuh 5,17 persen di kuartal II/2023,” tambahnya.
"Jamu" BI Selamatkan Rupiah
Pelemahan nilai tukar rupiah bukanlah yang terjadi pertama kali pada tahun ini. Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan 'jamu' atau jurus untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah bukan melalui suku bunga, namun intervensi di pasar valas dengan fokus pada transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
“Bagaimana mencapai stabilitasnya [nilai tukar rupiah]? Jamunya bukan suku bunga, jamunya adalah intervensi di spot maupun domestic non-delivery forward, intervensi valas. Itu yang kami terus stabilkan dan Alhamdulillah rupiah kita meskipun agak melemah di saat seluruh dunia melemah, tapi pelemahan kita rendah,” jelasnya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (24/8/2023).
Untuk itu selain memperkuat rupiah dengan intervensi di spot maupun DNDF, BI menerbitkan instrumen baru, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen OM (kontraksi) yang pro-market.
Perry menuturkan tujuan penerbitan SRBI yaitu, dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang, mendukung upaya menarik aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio, serta untuk optimalisasi aset Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki Bank Indonesia sebagai underlying.
Bank Indonesia siap meluncurkan lagi instrumen operasi moneter baru setelah memperkenalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI bulan lalu untuk menopang nilai tukar rupiah. Rencana itu disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers seusai Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (21/9). Dia mengatakan instrumen itu sedang dirumuskan BI.
“Inovasi BI akan terus . Tidak hanya Sekuritas Rupiah Bank Indonesia. Tunggu tanggal mainnya,” katanya.
Perry melanjutkan, BI akan terus melakukan inovasi yang memungkinkan bank sentral melakukan operasi moneter yang lebih propasar serta memperdalam pasar domestik, khususnya pasar uang dan pasar valuta asing.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengisyaratkan instrumen operasi moneter baru itu akan menggunakan Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) sebagai underlying.
Gubernur BI Perry mengatakan SRBI diserbu oleh investor dalam dua kali lelang yang berlangsung pada 15 September dan 20 September. Pada lelang perdana, terdapat penawaran yang masuk Rp29,9 triliun atau 4,2 kali dari target lelang Rp7 triliun. Pada lelang kedua, terdapat penawaran yang masuk Rp15,6 triliun atau oversubscribed 3,12 kali dari target Rp5 triliun. Dari dua lelang itu, BI memenangkan sekitar Rp37 triliun.
“Pasar menyambut baik penerbitan SRBI ini, seperti tecermin pada tingginya penawaran dibandingkan dengan target atau oversubcribed dalam dua kali lelang SRBI pada September 2023. “ ujarnya.
Selain itu, adanya implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor (DHE) SDA sejalan dengan PP No. 36/2023 dipercaya akan menambah cadangan devisa dan memperkuat rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel