Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengumumkan jika pada saat ini terdapat 12 dana pensiun (dapen) yang berada dalam pengawasan khusus.
Pada Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner OJK September 2023 secara virtual pada Senin (9/10/2023), Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Ogi Prastomiyono menyebutkan keduabelas dapen tersebut terdiri dari dapen BUMN dan juga non-BUMN.
Kriteria status pengawasan dana pensiun ini sebagaimana diatur di dalam POJK 9/2021 mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan lembaga jasa keuangan nonbank (LJKNB). Berdasarkan POJK tersebut, suatu dapen masuk dalam status pengawasan khusus apabila memenuhi kriteria peringkat komposit, peringkatan, dan parameter kuantitatif lain.
Sebagai informasi, dalam industri dana pensiun terdapat tiga tingkat pendanaan, yang merupakan gambaran kemampuan dapen untuk membiayai liabilitas saat ini dan yang akan datang. Tingkat pendanaan dapen diukur dengan membandingkan kekayaan untuk pendanaan dengan kewajiban solvabilitas dan nilai kini aktuaria dapen.
Untuk pendanaan tingkat pertama, kekayaan pendanaan dana pensiun lebih besar dari nilai kini aktuarianya. Dalam kondisi ini, dapen berada dalam keadaan dana terpenuhi.
Pendanaan tingkat kedua terjadi apabila kekayaan untuk pendanaan dana pensiun kurang dari nilai kini aktuaria dan tidak kurang dari kewajiban solvabilitas. Sementara, pendanaan tingkat ketiga yaitu apabila kekayaan untuk pendanaan kurang dari kewajiban solvabilitas atau disebut berada dalam keadaan tidak solven.
Dalam diskusi pada Selasa (10/10/2023), Ogi menjelaskan penyebab keduabelas dapen dalam pengawasan khusus memiliki tingkat pendanaan tiga.
Pertama, terdapat pemberi kerja yang belum menyetorkan porsi kewajiban kepada dapen. Ini bisa terjadi jika perusahaan mengalami kebangkrutan atau merugi sehingga tidak bisa setor. Sebagai informasi, dapen menerima iuran dari peserta/pegawai dan juga kontribusi dari pendiri/pemberi kerja.
"Dari pantauan kami terdapat pemberi kerja belum menyetorkan porsi kewajiban. Itu akumulasinya piutang iuran pendiri Rp3,61 triliun," ujarnya.
Kedua, terkait dengan penetapan bunga aktuaria. Muchlasin menyebutkan untuk mengejar tingkat aktuaria, investasi harus dicari setingkat bunga aktuaria. "Kita tahu dalam prinsip keuangan, high return high risk, untuk menutup gap itu."
Ketiga, imbal hasil rata-rata dapen yang rendah di bawah pasar. Hal ini terjadi karena aktuaria di atas pasar, tetapi imbal hasil di bawah pasar, sehingga ada gap. Muchlasin menambahkan imbal hasil rendah disebabkan karena investasi yang tidak tepat dan disinyalir ada fraud.
"Namun, secara umum bahwa dana iuran dari peserta dan pendiri tidak cukup untuk memenuhi mafaat pensiunan tersebut. Ini kombinasi terjadinya masalah karena pengurus dituntut mencari return yang tinggi," jelasnya.
OJK pun melakukan sejumlah langkah terhadap keduabelas dapen yang berada dalam pengawasan khusus, salah satunya meminta pendiri yang mempunyai kewajiban pada dapen untuk memenuhi sesuai dengan porsi.
"Kami minta penyesuaian tingkat bunga aktuaria yang wajar dan meminta me-review program manfaat pasti untuk bisa dikonversi menjadi iuran pasti. Tapi ini harus dilakukan dapen, bukan dari OJK. Kalau perusahaan induk/pendiri tidak ada itu sebenarnya salah satu solusi mengkonversi dari manfaat pasti menjadi iuran pasti," jelas Ogi.
Sementara itu, sebelumnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membongkar empat daftar nama dana pensiun (dapen) pelat merah yang bermasalah. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk melakukan program bersih-bersih di tubuh perusahaan BUMN.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa empat dapen BUMN telah merugikan negara sekitar Rp300 miliar. Erick menuturkan bahwa program bersih-bersih BUMN ini dilakukan bersama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Erick mengatakan bahwa pihaknya telah membentuk tim untuk meneliti ulang atas indikasi korupsi yang terjadi di dapen pelat merah. Dalam temuannya, Erick menyatakan bahwa dari 48 dapen yang dikelola BUMN, sebanyak 70 persen dalam keadaan sakit, sedangkan 34 persen dinyatakan tidak sehat.
“Awalnya kami coba lakukan 4 dapen, ada Inhutani, PTPN, Angkasapura I, IDFood. Jelas dari hasil audit dengan tujuan tertentu, itu ada kerugian negara sekitar Rp300 miliar,” ungkap Erick di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel