OPINI : Membuka Akses Kredit Macet Pelaku UMKM

Bisnis.com,12 Okt 2023, 09:11 WIB
Penulis: Adelia Pratiwi
Ilustrasi UMKM/surakarta.go.id

Bisnis.com, JAKARTA - Pada Juli 2023, Presiden Joko Widodo meng­instruksikan kabinetnya untuk me­ning­kat­­kan akses pembiayaan ba­­gi usaha mikro kecil dan me­­nengah (UMKM) melalui ke­bijakan hapus buku dan hapus tagih kredit macet UMKM. Arahan tersebut me­nyasar kredit UMKM pada lembaga keuangan mi­­lik pemerintah baik bank mau­pun non-bank se­ba­gai­ma­na diamanatkan UU No. 4/2023 ten­tang Pengembangan dan Pe­nguat­an Sektor Keuangan (P2SK).

Urgensi kebijakan ini cukup tinggi, mengingat banyaknya UMKM yang bermasalah dengan kredit perbankan. Di masa pandemi Covid-19 misalnya, debitur UMKM yang kreditnya macet sehingga diberikan fasilitas keringanan melalui program restrukturisasi mencapai 5,5 juta debitur. Meski sudah berkurang signifikan saat ini yaitu sekitar 50%-nya, jumlah debitur UMKM dalam kesulitan pembayaran masih tinggi.

Pemberian akses kredit bagi UMKM yang masih memiliki status kredit macet akan sangat sulit dilakukan oleh lembaga keuangan karena terikat dengan regulasi mengenai penyaluran kredit yang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Terlebih apabila Lembaga keuangan tersebut modalnya berasal dari penanaman modal negara yang berasal dari APBN.

Hapus buku dan hapus tagih sebagai satu paket kebijakan dapat menjadi solusi bagi status kredit UMKM. Namun, ada dampak yang berbeda dari kebijakan ini bagi lembaga keuangan. Hapus buku tidak terlalu berpengaruh karena merupakan tindakan internal bank untuk mencatat kredit macet sebagai kerugian.

Namun, hapus buku tidak menghapus kewajiban debitur untuk melunasi maupun hak bank untuk menagih, sedangkan hapus tagih sebaliknya. Sehingga apabila kelak dengan upaya penagihan kredit yang telah dihapus buku tersebut dapat dipulihkan, itu akan menjadi pendapatan pemulihan utang (debt recovery) bank.

Bank tidak ingin kredit yang disalurkannya menjadi macet, tetapi saat kreditnya sudah masuk macet perlu ditangani dengan baik agar tidak 100% menjadi kerugian. Untuk bank di negara berkembang seperti Indonesia, penanganan kredit macet umumnya belum optimal karena belum memiliki pasar dengan NPL yang berkembang dengan baik.

Negara lain seperti Korea dan Eropa misalnya memiliki opsi penjualan ke Lembaga manajemen asset, sekuritisasi, dan bahkan memiliki marketplace untuk kredit macet. Untuk negara yang belum memiliki berbagai instrumen ini, regulasi hapus buku dan hapus tagih bisa menjadi opsi kepastian penanganan.

Bank Dunia (2019) menemukan bahwa kebijakan hapus buku membawa manfaat bagi bank. Pertama, bank menjadi lebih fokus untuk mencari peluang pendanaan baru, dibandingkan melakukan penagihan yang tidak strategis untuk kredit macet yang pada kenyataannya sulit dipulihkan.

Kedua, bank dapat memiliki rasio NPL yang rendah karena kredit macet tersebut dihapuskan dari pembukuannya. Ketiga, kebijakan tidak berdampak terhadap keuangan bank, apalagi jika kerugian kredit tersebut sudah diserap dengan penyisihan kerugian kredit di awal sebesar 100%.

Berdasarkan survei dari Bank for International Settlement (2018) regulasi hapus buku aktif ditemukan di negara yang sektor keuangannya masih berkembang seperti Asia (2 dari 11 yang disurvei) serta Amerika Latin dan Karibia (6 dari 10 negara yang disurvei).

Di negara-negara berkembang ini, tanpa adanya landasan peraturan perundang-undangan, kebijakan tidak akan efektif terlaksana. Berbeda dengan negara yang sektor keuangannya maju seperti Eropa dan Amerika Serikat yang tidak memerlukan peraturan perundang-undangan untuk melakukan hapus buku.

Selanjutnya, Bank Dunia (2019) juga menemukan bahwa hapus tagih juga bisa menjadi solusi untuk menghindari praktik tidak sehat di bank di mana kredit macet yang sudah dihapusbuku disimpan di akun hapus buku selama bertahun-tahun, bahkan dalam kasus yang ekstrem sampai 15 tahun, tanpa tindakan apa pun.

Di sini, status debitur juga menjadi tidak pasti. Saat ini berdasarkan data OJK, terdapat total Rp500 triliun lebih saldo kredit hapus buku secara nasional, sayangnya kita tidak memiliki data berapa usia rata-rata kredit macet ini.

TIDAK TANPA BIAYA

Dari laporan masing-ma­sing bank, terlihat bahwa ha­pus buku adalah biaya yang mampu diserap oleh bank. Terbukti, meskipun bank BUMN seperti BRI, Bank Mandiri, dan BNI me­mi­liki riwayat hapus buku pada 2022 senilai Rp22,1 triliun, Rp16,9 triliun dan Rp9,8 tri­liun pada 2022; pada 2021 senilai Rp17,7 triliun, Rp15,9 triliun dan Rp9,5 triliun; penghapusan tersebut ti­dak memengaruhi kondisi ke­uangan bank tersebut.

Hal ini berkat kuatnya pencadangan kerugian dan permodalan bank-bank BUMN ini. Kendati demikian, pa­da laporan keuangan bank 2022, terlihat sebagian utang yang telah dihapusbuku akhirnya dapat ditagih.

Na­mun, perkiraan utang yang dapat dipulihkan per tahun berva­ria­si antarbank yakni BRI Rp13 triliun, Mandiri Rp8 tri­liun, BNI Rp4 triliun. Jumlah inilah yang akan memengaruhi kondisi ke­uangan bank BUMN ke de­pan, berupa potensi pendapat­an yang hilang (revenue forgone).

Untuk mendorong hapus buku dan hapus tagih yang ternyata tidak tanpa biaya, diperlukan kriteria. Berdasarkan praktik yang berlaku di negara-negara lain, kredit yang wajar untuk dihapus buku adalah kredit yang sudah jelas macet dan kecil kemungkinan tertagih dalam waktu dekat. Indikator dari tidak tertagih ini secara umum adalah tidak adanya pembayaran baik pokok maupun bunga selama 180 hari. Selain itu, besarnya bantalan cadangan kerugian juga menjadi syarat hapus buku di negara lain. Apabila cadangan sudah dialokasikan secara gradual dari awal dan mencapai 100%. Ketika kredit itu macet, kredit macet dapat langsung dihapus buku.

Selanjutnya, hapus tagih dapat dilakukan dengan kriteria yang lebih ketat karena menyangkut pendapatan debt recovery yang hilang. Untuk membatasi jumlahnya, tentunya diperlukan kriteria yang terkait dengan debitur. Debitur seperti apa yang akan diberikan fasilitas ini, sebenarnya telah diamanatkan dalam pasal 250 dan 251 UU P2SK.

Pasal-pasal tersebut membatasi kebijakan hanya berlaku bagi debitur (i) yang utangnya telah direstrukturisasi sebelumnya, (ii) debitur yang mempunyai “itikad baik”, dan (iii) debitur yang telah diterapkan “penagihan optimal” namun tetap tidak dapat membayar pokok kredit dan bunganya.

Kriteria pertama tentang restrukturisasi sangat relevan karena dengan demikian kebijakan ini hanya diperuntukkan bagi UMKM yang kreditnya macet karena faktor eksternal seperti bencana Covid-19. Kriteria kedua tentang ‘iktikad baik’ juga adil, karena tentunya kebijakan ini ingin mengecualikan debitur yang memiliki riwayat penipuan (fraud).

Terakhir, ‘penagihan optimal’ juga sangat relevan karena kriteria ini menjadikan hapus buku dan hapus tagih sebagai opsi terakhir bagi bank. Agar terdapat kepastian hukum, pemerintah bisa mempertimbangkan kajian Bank Dunia (2019) yang menemukan bahwa penagihan optimal adalah sekitar 3 tahun setelah kredit tersebut dihapus buku. Ini mengacu ke praktik di Eropa, untuk mendorong kepastian hukum status kredit debitur, apabila dalam tenggat waktu tersebut bank tidak melakukan tindakan apa pun untuk memulihkan kreditnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Novita Sari Simamora
Terkini