Indonesia Butuh Mitra yang Kuat untuk Jadi Hub Manufaktur Alkes dan Farmasi

Bisnis.com,15 Okt 2023, 17:32 WIB
Penulis: Afiffah Rahmah Nurdifa
Pedagang obat melayani pembeli di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menilai Indonesia butuh mitra kuat di industri alat kesehatan dan farmasi untuk menarik lebih banyak investasi ke sektor ini dan menjadikan Indonesia sebagai hub manufaktur. 

Dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, RIPIN 2015-2035, Undang-undang Cipta Kerja, dan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), pemerintah memprioritaskan pengembangan industri farmasi untuk berdaya saing global. 

Terlebih, Kementerian Perindustrian mencatat pada 2021, pasar industri farmasi dan alkes bernilai US$3,5 miliar atau Rp54,7 triliun dan diperkirakan tumbuh menjadi US$6,5 miliar atau setara dengan Rp101 triliun pada tahun 2026.  

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia memerlukan mitra yang kuat di industri ini, sekaligus mempersiapkan iklim investasi yang menarik agar aliran investasi makin moncer. 

"Prospek dari farmasi ini besar, karena Indonesia bahan baku obatnya tersedia. Indonesia juga biodiversitasnya juga tinggi yang artinya bahan baku secara alami itu gampang diperoleh," kata Bhima kepada Bisnis, dikutip Minggu (15/10/2023). 

Dalam hal ini, dia mendukung pemerintah melalui Kementerian Perindustrian yang tengah merayu Jepang untuk berinvestasi di sektor farmasi, termasuk bahan baku obat (BBO). 

Bhima menerangkan bahwa investasi Jepang ke RI di industri tersebut mengalami kenaikan dari 2010-2015 yakni dikisaran US$127 juta menjadi US$1,7 miliar pada tahun 2022 lalu. 

"Ada kenaikan yang signifikan meskipun dibandingkan investasi lainnya di sektor otomotif ya masih kecil kalo investasi dari Jepang," tuturnya. 

Namun, dia melihat prospek industri farmasi di Indonesia sangat besar. Hal ini lantaran sumber BBO dan biodiversitas atau bahan baku alami obat di Indonesia yang lebih mudah diperoleh. 

Selain itu, kebutuhan obat-obat untuk pasar domestik dan ekspor ke negara-negara berkembang di Asean juga sangat menarik. Indonesia dapat menjadi basis produksi obat-obatan dan produk kesehatan. 

"Kemudian juga ada arahan dari pemerintah mendorong sektor kesehatan ini menjadi salah satu sektor utama yang akan mendorong pertumbuhan di sektor jasa," ungkapnya. 

Di sisi lain, Bhima menilai masih ada tantangan dari segi sumber daya manusia (SDM) di bidang teknologi kesehatan yang masih cukup sulit. Sedangkan, selama ini SDM sektor jasa kesehatan sudah memenuhi kebutuhan. 

Sementara, untuk SDM teknisi yang bekerja di pabrik pengolahan bahan baku obat, Indonesia masih kekurangan. Namun, dengan didorongnya investasi di sektor farmasi dan alkes maka akan ada peluang transfer teknologi. 

"Di sekitar kawasan industrinya atau di sekitar pabrik akan muncul banyak sekali sekolah menengah kejuruan, sekolah vokasi, untuk mensupply tenaga kerja terampil di sektor industri kesehatan," tuturnya. 

Selain itu, tantangan lainnya yakni pengajuan hak paten di Indonesia yang masih terkendala dari sisi pengajuan dan perizinan. Menurutnya, akan lebih ringkas jika Jepang membawa paten dari negara asalnya untuk diproduksi di Indonesia. 

Lebih lanjut, Bhima juga menyoroti masalah klasik seperti biaya logistik, infrastruktur pendukung untuk menunjang kawasan industri sehingga stabilitas pasokan listrik, logistik makin memadai dan berdaya saing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Leo Dwi Jatmiko
Terkini