Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) dinilai memiliki ruang untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) di tengah tekanan global yang meningkat saat ini.
Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen pada Rapat Dewan Gubernur bulan ini.
“BI rate harus naik karena kondisi ketatnya likuiditas domestik. Kalau kondisi likuiditas domestik ketat, itu merupakan kewajiban bank sentral untuk menaikkan suku bunga, untuk menarik arus modal dari luar,” katanya kepada Bisnis, Selasa (18/10/2023).
Satria menjelaskan BI dalam 8 bulan terakhir telah melakukan intervensi pasar valas secara terus menerus dibandingkan menaikkan suku bunga acuan untuk mendukung rupiah terhadap penyempitan spread suku bunga.
Namun demikian, menurutnya intervensi valas sebenarnya merupakan kebijakan moneter kontraktif permanen karena BI memasok dolar AS dengan menguras likuiditas rupiah.
Kondisi ini tercermin juga dengan cadangan devisa yang turun US$10 miliar dalam 6 bulan terakhir, yang artinya BI telah menyerap Rp150 triliun likuiditas mata uang rupiah dari perbankan domestik.
Dia mengatakan di masa lalu, BI menetralisir dampak negatif dari intervensi valas dengan membeli obligasi di pasar sekunder, sehingga mengembalikan sebagian likuiditas rupiah.
Namun, saat ini BI mengurangi likuiditas rupiah lebih lanjut dengan melelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) ke perbankan dan menjual obligasi di pasar sekunder melalui Twist Operation.
Tercatat, BI telah menjual Rp98,7 triliun SRBI dalam lelang, sementara kepemilikan SBN oleh BI telah menurun sebesar Rp92,9 triliun.
Di sisi lain, imbuhnya, likuiditas dolar AS saat ini menurun tidak hanya karena pengetatan agresif yang dilakukan The Fed, tetapi juga karena defisit neraca transaksi berjalan dan neraca finansial Indonesia.
“Pilihan BI yang terus berlanjut untuk mengintervensi valas daripada menaikkan suku bunga menempatkan ekonomi pada risiko mengalami twin liquidity deficits yang disebabkan oleh kontraksi dalam jumlah uang beredar, baik dolar AS maupun rupiah,” jelasnya.
Menurutnya, BI pun memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 50 bps. Dia menilai opsi kenaikan suku bunga tidak akan memberikan dampak negatif yang besar pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, Satria mengatakan bahwa perekonomian Indonesia ditopang oleh sisi fiskal, sehingga dia optimistis perekonomian dengan rasio kredit terhadap PDB yang sebesar 41% seharusnya cukup menahan dampak dari pengetatan moneter BI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel