Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) tengah melakukan monitor terhadap kemungkinan-kemungkinan dampak bagi bisnis bank seiring nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tengah mengalami tren pelemahan, bahkan nyaris mencapai level Rp16.000.
Direktur Wholesale & International Banking BNI Silvano Rumantir mengatakan tren pelemahan rupiah terjadi di tengah kondisi tingkat suku bunga di AS yang tinggi. Kemudian, terjadi rebalancing portofolio dolar AS di pasar.
"Dampak nilai tukar rupiah terhadap dolar masih kita monitor. Tapi secara fundamental ekonomi kita solid. Likuiditas di perbankan juga terjaga dengan baik," katanya saat ditemuidi Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Adapun, tren pelemahan rupiah menurutnya akan memengaruhi permintaan valuta asing (valas) di perbankan. Akan tetapi, permintaan valas itu menurutnya akan ada siklusnya. "Ini bukan hal yang baru, di market likuiditas dolar kadang ketat, kadang longgar," ujarnya.
Saat ini, likuiditas dolar menurutnya masih tersedia, namun lebih mahal.
Sebelumnya, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah mampu menyengat bank-bank yang punya kepentingan atau portofolio bisnis luar negeri yang banyak.
"Bank-bank yang terkait aktivitas treasury, trade financing, aktivitas international banking, portofolionya di valuta asing besar, ini rawan terdampak," ujarnya kepada Bisnis pada pekan lalu (16/10/2023).
Menurutnya, rata-rata bank yang mempunyai portofolio bisnis luar negeri besar adalah bank-bank jumbo.
Meski begitu, bank-bank lainnya bisa saja terdampak. "Pelemahan ini bisa menyengat sektor riil yang lekat dengan depresiasi nilai tukar rupiah. In the long run akan hit juga ke sektor keuangan, karena ekonomi kita itu 70% sangat tergantung ke industri jasa keuangan khususnya perbankan. Jadi bisa berdampak juga ke bank," ujarnya.
Ia mencontohkan debitur dari sektor riil yang aktif menjalankan bisnis impor, akan sulit membayar kredit perbankan saat rupiah melemah. Hal ini memengaruhi pula kondisi rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) perbankan.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan rupiah akan mencapai titik terlemahnya pada Oktober-November 2023, sebelum rebound dan menguat.
Menurutnya, tekanan terhadap rupiah baru berpotensi mereda pada November mendatang, setelah ada kejelasan dari arah kebijakan suku bunga acuan The Fed sudah memuncak dan terbukanya ruang pemangkasan pada 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel