Mengenal Mendiang Kakek Prabowo, Margono Djojohadikusumo Pendiri Bank Negara Indonesia (BNI)

Bisnis.com,28 Okt 2023, 10:57 WIB
Penulis: Arlina Laras
Ilustrasi foto R.M. Margono Djojohadikoesoemo, yang diposting akun X (Twitter) BNI untuk memperingati usia BNI yang ke-70 tahun pada tahun 2016./x-@BNI

Bisnis.com, JAKARTA -- Nama Prabowo Subianto tercatat sebagai bakal calon presiden yang telah malang melintang di dunia politik dan juga militer. 

Selama beberapa waktu, publik terus menyoroti sosok Prabowo. Namun, kini perhatian publik baru-baru ini beralih ke sosok lain, yakni Margono Djojohadikoesoemo, kakek dari Prabowo, yang merupakan sosok di balik pendirian Bank Negara Indonesia (BNI). 

Berdasarkan pantauan Bisnis, kabar bahwa Prabowo merupakan cucu sang pendiri BNI terbukti kala dirinya mengunggah aktivitas ziarah yang dilakukannya beberapa waktu lalu.

“Ziarah ke Makam Kakek saya Alm. R.M Margono Djojohadikusumo di Kebumen beberapa hari yang lalu sebelum bulan Ramadhan,” tulisnya dalam Instagram pada 17 Mei 2018. 

Melansir dari cuitan akun Gerindra di X, Raden Mas Margono Djojohadikusumo lahir 16 Mei 1894 merupakan pendiri Bank Negara Indonesia.

Berdasarkan hasil penelusuran Bisnis, dirinya merupakan cucu buyut dari Raden Tumenggung Banyak Wide atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Banyak Wide, pengikut setia dari Pangeran Diponegoro, dan anak dari asisten Wedana Banyumas.

Sementara itu, dirinya memiliki anak bernama Soemitro Djojohadikoesoemo yang juga merupakan ekonom Tanah Air sekaligus ayah dari Prabowo, lalu anak lainnya yaitu Soebianto Djojohadikoesoemo, Soejono Djojohadikoesoemo.

Lebih lanjut, soal pendidikan, R.M Margono diketahui bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas, adalah sebuah Sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda di Banyumas, dari tahun 1900-1907

Kemudian, setelah lulus pada 1907, dia melanjutkan pendidikannya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA; sekolah pegawai negeri) di Magelang hingga 1911

Meski informasi mengenai sosok R.M Margono sangatlah minim. Namun, melansir dari buku Ingatan dari Tiga Zaman, Margono Djojohadikusumo (1969:17-18) menjelaskan bagaimana pendidikan masa kecilnya. 

Kala itu, hari pertamanya sekolah di sebuah sekolah dasar Eropa pada 1901. Dia menulis, para pelajar Jawa, bahkan mereka yang berasal dari kalangan berada, masih berpakaian "kain batik dan jas tutup, tanpa alas kaki".

Baginya, saat itu masa-masa awal sekolah itu menjadi masa yang tidak nyaman, lantaran memakai atau tidak memakai sepatu memainkan peran yang penting. 

Singkat cerita, sosoknya pun menjadi Ketua DPAS alias Dewan Petimbangan Agung Sementara pertama da anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI)

Lalu, sebagai Ketua DPAS, Margono mengusulkan supaya dibentuk sebuah Bank Sentral atau Bank Sirkulasi seperti yang dimaksud dalam UUD '45. Soekarno-Mohammad Hatta kemudian memberikan mandat kepada Margono untuk membuat dan mengerjakan persiapan pembentukan Bank Sentral (Bank Sirkulasi) Negara Indonesia pada tanggal 16 September 1945.

Pada 19 September 1945, sidang Dewan Menteri Republik Indonesia memutuskan untuk membentuk sebuah bank milik negara yang berfungsi sebagai "Bank Sirkulasi".

Akhirnya Pada 15 Juli 1946, terbitlan Perpu nomor 2 tahun 1946 tentang pendirian Bank Negara Indonesia, dan penunjukan R.M. Margono Djojohadikusomo sebagai Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI)

Adapun, berdasarkan catatan BNI, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI didirikan pada tanggal 5 Juli 1946 dan menjadi bank pertama milik negara yang lahir setelah kemerdekaan Indonesia. BNI sempat berfungsi sebagai bank sentral dan bank umum sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden No. 2/1946 tanggal 5 Juli 1946, sebelum akhirnya beroperasi sebagai bank komersial sejak tahun 1955.

Sebulan setelah BNI hadir sebagai anak kandung bangsa, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta meresmikan pembukaan kantor Bank Negara Indonesia di gedung De Javasche Bank, Yogyakarta, pada 17 Agustus 1946. 

Saat itu, BNI dibentuk untuk mendukung kelancaran pemerintahan dalam bidang keuangan & perekonomian masyarakat mengikuti hijrahnya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. Saat itu, suasana dalam kondisi genting karena ada keinginan kembalinya Hindia Belanda menguasai kembali RI.

Sehingga tak heran, apabila melansir dari catatan buku Prabowo Subianto: Sang Pemersatu Bangsa (2023), di sana disebutkan  bahwa sejak masih anak-anak Prabowo kerap menyaksikan kakek dan ayahnya berdebat soal ekonomi dunia termasuk bagaimana membangun Indonesia yang berbasis kerakyatan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Aprianto Cahyo Nugroho
Terkini