Bisnis.com, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus melakukan penyehatan pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Apalagi, ada isu soal BPR yang diduga bangkrut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut dalam perannya, OJK sendiri melakukan langkah tegas apabila BPR mengalami masalah keuangan demi memastikan tidak ada yang merugikan masyarakat.
"Tugas kita di OJK melakukan penyehatan seoptimal mungkin dalam waktu satu tahun,” katanya dalam Konferensi Pers RDK OJK, Senin (30/10/2023).
Apabila melampaui waktu tersebut, lanjutnya, maka bank akan diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk diresolusi.
“Namun, untuk persoalan keuangan mendasar seperti fraud, tentu OJK harus melakukan langkah yang lebih tegas, Jangan sampai BPR mendapatkan stigma buruk,” ujarnya dalam Konferensi Pers RDK OJK, Senin (30/10/2023).
Hal ini lantaran menurut Dian BPR harus berkontribusi dalam membantu perekonomian khususnya bagi masyarakat daerah.
Tak hanya itu, OJK juga pun terus mendorong BPR/BPRS untuk melakukan konsolidasi guna melakukan penguatan modal, serta untuk mengakselerasi transformasi digital hingga meningkatkan SDM.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan bahwa ada dua bank yang bangkrut tahun ini.
Kedua bank yang bangkrut tersebut yaitu PT Bank Perkreditan Rakyat Bagong Inti Marga (BPR BIM) di Jawa Timur dan Perusahaan Umum Daerah Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja Indramayu (Perumda BPR KRI) di Indramayu, Jawa Barat.
LPS mengatakan alasan pihaknya mencabut izin kedua bank perkreditan rakyat tersebut, karena tidak sehatnya arus keuangan BPR BIM. Sehingga, Izin BPR BIM telah dicabut pada 3 Februari 2023 lalu.
Sementara itu, masalah di BPR KRI terkait fraud dalam manajemen bank. Sehingga, LPS sendri telah mencabut izin BPR KRI pada 12 September 2023.
Sebagai informasi, berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia, jumlah BPR per Agustus 2023 sebesar 1.412, artinya 38 unit BPR terpangkas sejak Agustus 2022 berjumlah 1.450.
Tren penurunan ini pun berlanjut pada bulan-bulan sebelumnya, di mana pada Januari 2023 total ada 1.437, lalu Februari 2023 terdapat 1.429 BPR, disusul Maret mencapai 1.426 BPR dan April 1.416 BPR, Mei dan Juni serta Juli pada 2023 sebesar 1.413 BPR.
Adapun, penyusutan jumlah BPR memang menjadi siasat dari OJK agar BPR efisien. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan BPR ditargetkan menyusut menjadi sekitar 1.000 hingga 2027.
“Ini sangat-sangat memungkinkan ya. Karena, kita temui ada lima, 10 BPR itu ternyata dimiliki satu orang. Sekarang kita enggak perbolehkan lagi, sehingga mereka harus melakukan merger sukarela atau pilihannya dengan merger paksa,” ujarnya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) pada beberapa waktu lalu.
Menurutnya, jumlah BPR yang terlalu banyak menjadi salah satu sumber masalah, karena beberapa di antaranya berada dalam kondisi finansial yang buruk dan tidak mampu bertahan.
Lebih lanjut, Dian mengatakan, OJK saat ini fokus menerapkan aturan "single presence policy" bagi BPR, di mana pihaknya melarang satu pihak mengendalikan lebih dari satu bank, seperti yang berlaku untuk bank umum.
Tujuan dari upaya ini adalah untuk mempercepat merger sektor BPR sebagai langkah yang lebih mudah dilakukan dan memberikan insentif yang jelas. Dengan demikian, dapat memperbaiki kinerja keuangan BPR, memungkinkan ekspansi kredit yang lebih luas, dan meningkatkan pengawasan yang lebih baik atas operasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel