Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri pidato berapi-api. Ada kemarahan bercampur geram di dalamnya. Dia tanpa tedeng aling-aling menyebut penguasa sekarang, merujuk kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), mirip Orde Baru.
"Mengapa kalian yang baru berkuasa itu, mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru," ucap Mega, Senin lalu.
Pidato Mega beredar luas di media massa maupun media sosial. Pasalnya, ini adalah pertama kalinya Mega secara terang-terangan menuding penguasa berperilaku laiknya Orde Baru. Pernyataan Megawati itu juga sangat kontras dengan isi pidato pada Minggu (12/11/2023), lebih berani, meskipun kalau dirunut Jokowi sampai dengan saat ini masih tercatat sebagai kader PDIP.
Orde Baru adalah rezim kekuasaan yang menggunakan militer dan perangkat negara lainnya untuk membungkam lawan politiknya. Pada masa Orde Baru, semua alat negara dikendalikan oleh Presiden Soeharto. Lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif digunakan untuk melanggengkan kekuasaannya selama lebih dari 3 dasawarsa.
Adapun, Jokowi belakangan ini mendapat sorotan karena manuver politik keluarganya. Manuver pertama terjadi ketika putra bungsunya, Kaesang Pangarep, ditunjuk sebagai Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya dua hari setelah menjadi kader partai tersebut.
Selain itu, adapula putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU/XII/2023 tentang batas usia calon presiden (capres) dan calon presiden (cawapres). Putusan ini membuka peluang putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden alias cawpres Prabowo Subianto. Menariknya, putusan MK itu dibacakan oleh paman Gibran atau adik ipar Jokowi, Anwar Usman.
Putusan MK ini menulai polemik, apalagi Majelis Kehormatan MK kemudian memutus bahwa Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etik berat. Dia dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK. Anwar juga tidak diperkenankan untuk memutus perkara sengketa pemilu yang memiliki kaitan dengan apapun. Putusan itu kemudian menguatkan indikasi adanya persekongkolan untuk melanggengkan Gibran jadi salah satu kontestan dalam Pemilu 2024.
Akademisi sekaligus peneliti di Pusat Kajian Anti-korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar secara satir mengungkapkan bahwa putusan MK itu mengindikasikan bahwa palu hakim MK telah patah dihadapan politik dan konflik kepentingan. “Palu hakim itu telah patah, dihajar politik dan konflik kepentingan,“ ujar dia dalam akun X.
Anwar Usman bukannya tanpa perlawanan. Dia mengatakan bahwa tuduhan tentang kongkolikong dalam putusan yang dibacakannya,adalah sebuah fitnah yang keji. “Fitnah yang amat keji dan sama sekali tidak berdasarkan hukum,“ ujar Anwar Usman 8 November 2023 lalu.
Mantan Ketua MK itu juga melakukan perlawanan dalam bentuk lain. Dia mengajukan keberatan ketika Suhartoyo ditunjuk sebagai penggantinya sebagai Ketua MK. Anwar bahkan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara alias PTUN terkait jabatan Ketua MK tersebut.
Meski diwarnai dengan persoalan etik, Gibran tetap melaju sebagai cawapres Prabowo. Secara yuridis, memang tidak ada aturan yang dilanggar karena putusan MK yang dibacakan oleh Anwar Usman bersifat final dan mengikat. Gibran sendiri tidak banyak komentar tentang polemik itu dan memilih mengembalikanya ke MK. “Ya keputusan MK, kita kembalikan lagi ke MK,“ katanya Oktober lalu.
Konsolidasi Kekuasaan
Selain soal polemik putusan MK yang ditengarai sarat dengan nuansa nepotisme, Jokowi juga dihubung-hubungkan dengan persoalan netralitas. Apalagi, Jokowi pernah mengungkapkan secara terbuka ke publik bahwa dirinya akan cawe-cawe dalam Pemilu 2024.
Terlepas bagaimana strategi cawe-cawe politik Jokowi itu dijalankan, namun jika melihat dinamika politik belakangan ini, ada tren konsolidasi kekusaan di lingkungan dekat Joko Widodo. Orang-orang yang pernah bersinggungan baik sebagai ajudan ataupun jabatan di Surakarta, memegang jabatan-jabatan strategis di lingkup kekuasaan eksekutif.
Di Polri ada sosok Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. Listyo adalah mantan Kapolresta Surakarta dan ajudan Jokowi. Sedangkan di puncuk pimpinan TNI ada sosok Jenderal TNI Agus Subiyanto. Dia adalah mantan Dandim Surakarta.
Adapun di Jawa Tengah terdapat sosok PJ Gubernur Jateng, Nana Sudjana yang merupakan mantan Kapolresta Surakarta dan Meyjen TNI Widi Prasetijono mantan ajudan Jokowi yang sekarang menjadi Pangdam IV/Diponegoro.
Menariknya, di tengah tren konsolidasi tersebut, muncul tudingan aparat tidak netral. Salah satu yang menjadi pemicu indikasi ketidaknetralan polisi adalah pemanggilan kepala desa di tiga kabupaten di Jawa Tengah. Ketiga kabupaten itu antara lain Karanganyar, Wonogiri dan Klaten yang telah lama menjadi basis pemilih PDIP.
Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo mengaku tidak bisa lagi diam usai mendengar para kepala desa (kades) di Kabupaten Karanganyar dipanggil oleh Polda Jawa Tengah (Jateng). "Saya sudah mendapatkan laporan, kades mulai diperiksa. Maaf, maaf. Saya tidak bisa lagi diam," ujar Ganjar.
Mantan gubernur Jateng ini pun mengaku sudah mendatangi para kades yang dipanggil itu. Dia ingin klarifikasi terkait alasan pemanggilan itu. Ganjar pun meminta setiap relawan tenang. Dia ingatkan, kader PDIP dan PPP yang ada di DPR RI akan melakukan tindakan apabila ada kecurangan dalam ajang Pilpres 2024.
"Bapak, Ibu, tenang, ada kawan-kawan DPR RI yang akan menggunakan seluruh konstitusinya jika pemilu ini tidak jurdil [jujur dan adil]," jelasnya.
Meski demikian, Ganjar juga meminta setiap relawan pendukungnya untuk selalu waspada dan mengawasi setiap tahapan Pilpres 2024. Dengan begitu, lanjutnya, diharapkan Pilpres 2024 bisa berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan.
"Saya titip betul pada Bapak-Ibu, satu, kita pasang telinga kita, kita buka mata kita, lihat, dengarkan apa yang terjadi di sekitar," katanya.
Adapun, Direktur Reskrimsus Polda Jateng, Dwi Subagio menerangkan pemanggilan suruh kades di Karanganyar merupakan tindak lanjut dari aduan masyarakat pada 12 April 2023.
Atas laporan itu, kepolisian melakukan penyelidikan terhadap dugaan pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi di beberapa desa dan pemotongan dana Bantuan Provinsi (Banprov) Jateng yang diterima oleh desa selama tahun anggaran 2020 dan 2021.
"Sudah dilakukan pemeriksaan terhadap beberapa kepala desa, Tim Pengelola Kegiatan [TPK], dan pihak ketiga yang terlibat dalam program Bankeu Provinsi Jateng," kata Dwi dalam keterangannya, dikutip Minggu (26/11/2023).
Meski demikian, sejumlah pihak merasa pemanggilan itu sarat dengan unsur politis karena dilakukan jelang Pilpres 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel