Bisnis.com, JAKARTA — Aksi korporasi di kalangan pelaku industri perbankan diperkirakan masih akan tinggi pada 2024 mendatang, termasuk untuk pemenuhan modal inti minimum serta ekspansi dan peningkatan daya saing.
Sepanjang tahun ini, industri perbankan diramaikan oleh sejumlah aksi konsolidasi, setelah pada 2022 dan marak aksi penambahan modal untuk pemenuhan modal inti. Aksi korporasi di kalangan perbankan pun diperkirakan tak akan berakhir begitu saja, menimbang persaingan yang dinamis di industri ini.
Ulasan tentang industri perbankan pada 2024 yang dipastikan masih akan ramai diwarnai oleh aksi korporasi menjadi salah satu pilihan Bisnisindonesia.id, selain beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Jumat (15/12/2023):
Tugas Berat Akselerasi Ekonomi RI Jadi Negara Maju
Asian Development Bank (ADB) menilai pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 6%, sebagai prasyarat mencapai visi Indonesia untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi atau negara maju pada 2045.
Pada 2023 dan 2024, ADB memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh pada level 5%, tetap kuat di tengah meningkatkan risiko dari sisi eksternal.
Pertumbuhan ekonomi akan didukung oleh konsumsi domestik dan investasi, seiring dengan kinerja ekspor yang mulai melemah akibat berakhirnya booming komoditas dan melemahnya permintaan di pasar global.
Direktur ADB di Indonesia Jiro Tominaga mengatakan bahwa Indonesia telah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat pascapandemi Covid-19, dari pertumbuhan yang terkontraksi sebesar -2,1% pada 2020 menjadi 5,3% pada 2022.
Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat pada level 5% pada 2023 dan 2024. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh kondisi ekonomi makro domestik yang kuat, baik dari sisi fiskal maupun moneter, juga dari sisi pengelolaan utang.
Intip Peta Konsolidasi Industri Perbankan pada 2024
Beberapa aksi korporasi yang paling mencolok tahun ini antara lain konsolidasi di kalangan bank asing. PT Bank OCBC NISP Tbk. (NISP), misalnya, mengakuisisi kepemilikan Commonwealth Bank of Australia (CBA) di PT Bank Commonwealth.
PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) juga mengakuisisi lini bisnis konsumer seperti kartu kredit milik Standard Chartered Bank Indonesia (SCBI). Lalu, PT Bank UOB Indonesia pun telah merampungkan akuisisi bisnis consumer banking milik Citibank Indonesia.
Bank digital dengan pengguna terbesar di Korea Selatan, yakni KakaoBank juga mengakuisisi saham bank digital milik PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) yakni Superbank sebesar 10% melalui penerbitan saham baru.
Geliat Emiten Bank Milik Asing Penuhi Ketentuan Free Float
Bank-bank yang dikendalikan oleh investor asing memenuhi daftar emiten yang terancam delisting tahun depan lantaran porsi saham publik atau free float mereka tidak mencapai 7,5% sesuai dengan yang dipersyaratkan Bursa Efek Indonesia per 21 Desember 2023.
Saham free float merujuk pada saham yang dimiliki oleh investor publik dengan porsi kepemilikan kurang dari 5% per investor. Saham ini tidak mencakup saham-saham yang dimiliki oleh pengendali dan afiliasinya, anggota dewan komisaris atau direksi, serta bukanlah saham hasil buyback atau saham treasuri.
BEI mempersyaratkan agar porsi saham free float minimum bagi suatu perusahaan tercatat adalah sebanyak 7,5% dari total sahamnya atau 50 juta lembar. Selain itu, jumlah pemegang saham minimal juga dipersyaratkan sebanyak 300 pihak atau investor pemegang single investor identification (SID).
BEI pun menegaskan akan mengambil langkah tegas terhadap emiten yang belum memenuhi ketentuan tersebut hingga tenggat waktu, yakni 21 Desember 2023. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham Dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat.
Aturan ini mulai berlaku pada 21 Desember 2021. Dalam regulasi tersebut perusahaan dapat tetap tercatat di bursa jika memenuhi kriteria tersebut terhitung maksimal dua tahun sejak aturan berlaku.
Mencari Sumber Pendanaan Penuhi Gap Pembiayaan Infrastruktur
Membangun infrastruktur di Indonesia tidaklah mudah dan murah. Indonesia memiliki kebutuhan investasi bidang infrastruktur pada periode 2020 – 2024 sebesar Rp2.058 triliun.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menuturkan kebutuhan pembiayaan infrastruktur di luar dana yang digelontorkan oleh APBN dalam periode 2020—2024 mencapai Rp1.435 triliun. Dari 2020 hingga tahun 2024, Kementerian PUPR membutuhkan anggaran sebesar Rp2.058 triliun. Dengan kapasitas APBN hanya sebesar Rp623 triliun, terdapat funding gap sebesar 70% yang perlu dipenuhi dengan memanfaatkan sumber pendanaan alternatif.
Guna memenuhi gap pembiayaan tersebut, Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur (DJPI) mencanangkan alternatif pembiayaan infrastruktur tersebut melalui inovasi 3 bold actions, sebagai terobosan untuk menutup funding gap infrastruktur.
Untuk mendongkrak minat investasi para investor, Kementerian PUPR juga ke depan berencana untuk mengubah metode lelang proyek. Nantinya pemerintah akan memastikan pembebasan lahan pembangunan suatu proyek akan diprioritaskan rampung terlebih dahulu, baru dapat memasuki proses lelang.
Menangkap Sinyal Dividen Jumbo 2024 Bank Kelas Kakap
Bank-bank jumbo masih diperkirakan akan membagikan dividen jumbo untuk pemegang sahamnya pada 2024 mendatang dari hasil laba tahun ini, meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewanti-wanti pelaku perbankan untuk tidak berlebihan dalam membagikan dividennya.
Proyeksi ini sejalan dengan kinerja laba bank-bank besar tahun ini yang tumbuh dengan cukup tinggi, sehingga memberikan ruang yang relatif memadai untuk dibagikan kepada pemegang saham mereka, sembari tetap menyisihkan untuk kebutuhan ekspansi.
Sebagai gambaran, berdasarkan laporan keuangan hingga Oktober 2023, bank-bank jumbo masih mencatatkan kinerja pertumbuhan laba. PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), misalnya, mencatatkan laba bersih Rp40,2 triliun pada Oktober 2023, tumbuh 26,1% secara tahunan (year-on-year/ YoY).
Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) mencatatkan laba bersih Rp43,4 triliun, naik 7,9% YoY. Laba bersih PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) naik 28,6% YoY menjadi Rp40,5 triliun, sedangkan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Rp17,3 triliun, naik 11,9% YoY.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel