Pengamat Sebut SBN Jadi Primadona Investasi Perusahaan Asuransi pada 2024

Bisnis.com,07 Jan 2024, 07:01 WIB
Penulis: Pernita Hestin Untari
Investor menunjukan aplikasi reksadana yang menjual Surat Berharga Negara di Jakarta, Rabu (6/7/2022). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA— Pengamat menilai bahwa Surat Berharga Negara (SBN) masih menjadi primadona investasi perusahaan asuransi, setelah saham pada 2024. Meskipun ada ekspektasi suku bunga turun pada tahun ini oleh The Fed dan Bank Indonesia (BI). 

Dosen/praktisi manajemen risiko, dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman menilai perusahaan asuransi cenderung memilih instrumen investasi yang aman, terlebih 2024 merupakan tahun politik. 

“Tahun politik, perusahaan cenderung memilih yang aman dan lebih hati-hati dalam memilih instrumen investasinya walaupun mempunyai imbal hasil rendah sebagai manajemen risiko-nya,” kata Wahyudin saat dihubungi Bisnis, Minggu (7/1/2024). 

Kendati demikian, dia tak menampik bahwa perusahaan asuransi secara khusus memiliki strategi yang berbeda-beda tergantung kemampuan dan karakter perusahaan. Ada pula perusahaan asuransi yang risk apetite-nya adalah pengambil risiko. 

Namun secara umum, perusahaan asuransi tentunya ingin mencapai target yang diharapkan seperti hasil underwriting yang surplus, hasil investasi, efisiensi biaya operasional, sampai menghasilkan laba.

Wahyudin mengatakan untuk mencapai target tersebut perusahaan asuransi memang harus memilih instrumen investasi yang tepat. 

Untuk pemilihan investasi sendiri, Wahyudin menyarankan instrumen yang tidak berisiko tinggi seperti SBN, reksadana dan sukuk korporasi. Terlebih 2024 merupakan tahun politik yang mempengaruhi stabilitas perekonomian dalam negeri. 

“Instrumen investasi syariah seperti SBSN juga dapat dipertimbangkan karena lebih konstan dan memberikan imbal hasil yang cukup,” ungkap dia.  

Tidak hanya penempatan investasi, Wahyudin mengatakan perusahaan perlu melihat sasaran segmentasi dan potensi pasar baru, batas biaya akuisisi kesesuaian dengan risikonya. 

“Selama ini market sudah jenuh dan besarnya tambahan biaya akuisisi menyebabkan menyusutnya perolehan laba,” kata Wahyudin. 

Kemudian perusahaan juga perlu menerapkan prudent underwriting, dimana perusahaan harus menetapkan risk appetite dan risk tolerance sesuai kemampuan dan kondisi perusahaan.  Dia mengingatkan bahwa okupasi yang memberikan pengalaman buruk dan red notice dari reasuransi harus segera ditinggalkan.  

Menurut catatan Bisnis, alokasi penempatan investasi asuransi di instrumen pendapatan tetap meningkat pada 2023 di tengah suku bunga BI yang tinggi. Investasi asuransi jiwa di SBN per September 2023 mencapai Rp154,6 triliun atau 30,2% dari total investasi asuransi jiwa Rp511,8 triliun, obligasi korporasi Rp34,9 triliun (6,8%), dan medium-term notes (MTN) Rp6,4 triliun (1,3%). 

Dibandingkan dengan 2022, alokasi investasi asuransi jiwa di SBN hanya Rp137,1 triliun atau 26,5% dari total investasi Rp517,1 triliun, obligasi korporasi Rp33,4 triliun (6,4%), dan MTN Rp7,8 triliun (1,5%). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Pandu Gumilar
Terkini