Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO) terus mendorong pertumbuhan dana pihak ketiga pada tahun ini. Perseroan juga mengandalkan pengembangan fitur serta kolaborasi ekosistem.
Corporate Secretary Bank Raya Ajeng Putri Hapsari menyebut dalam meningkatkan DPK, Bank Raya telah mempersiapkan berbagai fitur terbaru yang akan diluncurkan sepanjang 2024.
“Peluncuran fitur baru tersebut bertujuan untuk menunjang kemudahan nasabah dalam bertransaksi dan mengelola usahanya,” ujarnya pada Bisnis, Senin (8/1/2024).
Selain itu, kata Ajeng, Bank Raya terus mengoptimalkan ekosistem BRI Group dan ekosistem digital yang dimiliki untuk meningkatkan ekspansi bisnis bank baik dari sisi simpanan maupun pinjaman.
Tercatat, per November 2023, dana pihak ketiga dari sisi digital saving Bank Raya, tumbuh 66,5% secara tahunan, mencapai lebih dari Rp841 miliar.
“Kami optimis peningkatan DPK di tahun 2024 ini dapat dilakukan dengan baik, serta memperluas akses dan mendorong transaksi melalui pengembangan fitur dan produk produk perbankan digital Bank Raya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Bank Raya juga fokus untuk mendorong pertumbuhan dana murah melalui Digital Saving Bank Raya, dengan menawarkan kemudahan ekosistem pembayaran digital yang terintegrasi.
Pasalnya, sejak diluncurkan pada 2022, digital saving Bank Raya telah menunjukkan pertumbuhan yang memuaskan, baik dari sisi pertumbuhan bisnis maupun pertumbuhan nasabah.
Mengacu laporan keuangan, Bank Raya mencatatkan laba bersih sebesar Rp14,67 miliar pada akhir September 2023 berbanding Rp32,47 miliar per September 2022.
Dari sisi intermediasi, Bank Raya menyalurkan pinjaman Rp5,62 triliun pada kuartal III/2023. Dari segi pendanaan, Bank Raya meraup dana pihak ketiga (DPK) Rp7,06 triliun. Sedangkan aset Bank Raya menjadi Rp11,43 triliun.
Sebagaimana diketahui, seiring dengan upaya Bank Raya tersebut, nyatanya simpanan nasabah di bank mengalami pelambatan tahun lalu.
Tercatat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat capaian Dana Pihak Ketiga Bank Umum per September 2023 tumbuh yaitu sebesar Rp8.147,17 triliun, menanjak sekitar 6,54% secara tahunan. Namun, pertumbuhan ini sedikit melambat dari tahun sebelumnya sebesar 6,77% (yoy).
Ada sejumlah alasan mengapa simpanan nasabah perlambatan, salah satunya karena dipengaruhi oleh high base effect DPK tahun 2022 alias pertumbuhan DPK yang tinggi pada masa pandemi.
“Terbatasnya konsumsi masyarakat, misalnya berkurangnya belanja untuk kebutuhan sandang, transportasi, dan wisata dan tingginya surplus di beberapa perusahaan korporasi,” demikian laporan OJK yang dikutip Bisnis, pekan lalu (29/12/2023).
Perlambatan ini juga berlanjut seiring dengan penyesuaian status pandemi menjadi endemi konsumsi masyarakat pun makin meningkat. Kemudian, perlambatan DPK juga seiring peralihan arus dana non-residen ke luar seiring tingginya suku bunga global, serta dampak dari instrumen alternatif penempatan dana selain DPK yang semakin atraktif.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menyebut perlambatan DPK, lantaran dipengaruhi kebijakan moneter, dia pun menyebut pertumbuhan DPK diprediksi akan lebih tinggi di tahun depan.
“Kalau Bank Indonesia pada 2024 sudah melakukan pelonggaran suku bunga, maka pertumbuhan DPK akan naik lagi. Penyaluran kredit akan lebih tinggi, ketika kredit disalurkan itu pasti balik lagi akan jadi DPK. Kredit itu menciptakan DPK,” ujarnya di Wisma Bisnis Indonesia Rabu (27/12/2023).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel