Tok! DKI Tetapkan Tarif Pajak Hiburan 40% untuk Karaoke hingga Spa Mulai 2024

Bisnis.com,15 Jan 2024, 18:29 WIB
Penulis: Annasa Rizki Kamalina
Ilustrasi pajak hiburan. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara resmi menetapkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk kategori hiburan seperti karaoke hingga spa sebesar 40% mulai 2024. 

Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 1/2024 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah yang diteken pada 5 Januari 2024 oleh Pj. Gubernur Heru Budi Hartono. 

Tarif PBJT atas makanan dan/atau minuman, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan, ditetapkan sebesar 10%. 

“Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% [empat puluh persen],” tulis ayat (1) Pasal 53 beleid tersebut, dikutip Senin (15/1/2024). 

Adapun, PBJT merupakan pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.

Bila mengacu peraturan sebelumnya, yakni Perda No. 3/2015 tentang Pajak Hiburan, tarif pajak untuk kategori diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan disck jockey (DJ) dan sejenisnya sebesar 25%. 

Sementara tarif untuk panti pijat, mandi uap, dan spa sebesar 35%. Artinya, kenaikan tarif pajak hiburan untuk diskotek mencapai 15%, sementara untuk spa naik sebesar 5% dalam beleid yang mulai berlaku per 5 Januari 2024. 

Secara umum, pajak hiburan dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan sebuah hiburan. Pajak hiburan dapat meliputi, semua jenis pertunjukkan, tontonan, permainan, atau keramaian yang dinikmati secara berbayar.

Objek yang di kecualikan dalam pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran pada acara pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan, dan pameran buku.

Isu mengenai tarif pajak hiburan ini menjadi sorotan karena terlampau tinggi. Bahkan artis yang juga pengusaha hiburan seperti Hotman Paris dan Inul Daratista mengeluhkan tingginya tarif tersebut. 

Di sisi lain, peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa hal yang menjadi biang masalah adalah penentuan tarif minimum 40%. 

“Saya sendiri kurang mengetahui apa alasan pemeritnah bersama DPR menetukan tarif 40%-75%. Harusnya biarkan daerah menentukan tarifnya sesuai dengan kondisi ekonomi mereka,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (15/1/2024). 

Fajry mengatakan bahwa dengan adanya ketentuan minimum 40% dalam UU HKPD, pengusaha teriak terlalu tinggi tapi Pemda-pun tak bisa berbuat banyak karena ditentukan dalam UU HKPD ditentukan minimum 40%. 

“Untuk mengubah lagi sulit, karena UU HKPD ini baru disahkan,” lanjutnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Aprianto Cahyo Nugroho
Terkini