Teriakan Pengusaha Usai Pemerintah Ketok Pajak Hiburan Naik jadi 40%-75%

Bisnis.com,16 Jan 2024, 11:08 WIB
Penulis: Annasa Rizki Kamalina , Harian Noris Saputra , Maria Elena & Ni Luh Anggela
Ilustrasi aktivitas di tempat hiburan malam. Pemerintah resmi menaikkan pajak hiburan sebesar 40%-75% yang tertuang dalam Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Pedangdut sekaligus pemilik bisnis karaoke 'Inul Vizta' Inul Daratista menjadi sorotan netizen sejak sepekan terakhir. Dia memprotes aturan pemerintah terbaru, yaitu kenaikan pajak hiburan mulai 40-75%, yang secara langsung akan berdampak pada bisnis yang digelutinya. 

Kenaikan pajak hiburan telah tertuang dalam Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pasal 58 ayat (1) UU No. 1/2022 atau UU HKPD menyebutkan bahwa tarif pajak barang dan  jasa tertentu (PBJT) ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Namun demikian, pada ayat selanjutnya, disebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi sebesar 75%.

Meski menjadi payung hukum, aturan pajak hiburan di UU HKPD tak bisa berlaku sebelum pemerintah daerah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda). 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara resmi menetapkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk kategori hiburan seperti karaoke hingga spa sebesar 40% mulai 2024. 

Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 1/2024 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah yang diteken pada 5 Januari 2024 oleh Pj. Gubernur Heru Budi Hartono. Tarif PBJT atas makanan dan/atau minuman, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan, ditetapkan sebesar 10%. 

“Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% [empat puluh persen],” tulis ayat (1) Pasal 53 beleid tersebut, dikutip Senin (15/1/2024). 

Adapun, PBJT merupakan pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. Aturan Perda 1/2024 ini yang mungkin membuat Inul berang. 

Melalui media sosial X.com, Inul Daratista mengaku keberatan dengan adanya kenaikan pajak hiburan 40%-75%.

“Pajak hiburan naik dari 25% ke 40%-75% sing nggawe aturan mau ngajak modyar tah!!” tulis Inul melalui platform X.com, dikutip Minggu (14/1/2024).

Pajak Hiburan Naik Signifikan

Bila mengacu peraturan sebelumnya, yakni Perda No. 3/2015 tentang Pajak Hiburan, tarif pajak untuk kategori diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan disck jockey (DJ) dan sejenisnya sebesar 25%. 

Sementara tarif untuk panti pijat, mandi uap, dan spa sebesar 35%. Artinya, kenaikan tarif pajak hiburan untuk diskotek mencapai 15%, sementara untuk spa naik sebesar 5% dalam beleid yang mulai berlaku per 5 Januari 2024. 

Secara umum, pajak hiburan dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan sebuah hiburan. Pajak hiburan dapat meliputi, semua jenis pertunjukkan, tontonan, permainan, atau keramaian yang dinikmati secara berbayar.

Objek yang di kecualikan dalam pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran pada acara pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan, dan pameran buku.

Isu mengenai tarif pajak hiburan ini menjadi sorotan karena terlampau tinggi. Bahkan artis yang juga pengusaha hiburan seperti Hotman Paris dan Inul Daratista mengeluhkan tingginya tarif tersebut. 

Di sisi lain, peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa hal yang menjadi biang masalah adalah penentuan tarif minimum 40%. 

“Saya sendiri kurang mengetahui apa alasan pemeritnah bersama DPR menetukan tarif 40%-75%. Harusnya biarkan daerah menentukan tarifnya sesuai dengan kondisi ekonomi mereka,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (15/1/2024). 

Fajry mengatakan bahwa dengan adanya ketentuan minimum 40% dalam UU HKPD, pengusaha teriak terlalu tinggi tapi Pemda-pun tak bisa berbuat banyak karena ditentukan dalam UU HKPD ditentukan minimum 40%. 

“Untuk mengubah lagi sulit, karena UU HKPD ini baru disahkan,” lanjutnya. 

Pengusaha Ketar-Ketir 

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani, menilai, kenaikan pajak hiburan yang tinggi sangat bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh negara. Pasalnya, industri ini merupakan bantalan untuk menyerap tenaga kerja Indonesia secara masif, tanpa memandang tingkat pendidikan.

“Pengenaan batasan minimal 40% sampai 75% menurut pandangan kami ini justru akan mematikan industri ini,” kata Hariyadi dalam konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage SPA, Kamis (11/1/2024).

Penerapan Pajak Hiburan dan Jasa Tertentu (PBJT) 40% menuai polemik di kalangan pelaku usaha dan pelaku pariwisata di Pulau Dewata. Sejumlah pengusaha menilai besarnya pajak hiburan tersebut bisa berdampak buruk bagi pariwisata Bali. 

Apalagi sektor pariwisata menjadi salah satu unsur penting dalam menopang penerimaan pajak di Bali. Kesejahteraan subyek-subyek pariwisata pun menjadi hal yang harus diperhatikan baik secara regulasi maupun implementasi.

Salah satu pengusaha hiburan di Bali yang juga Bendahara Umum HIPMI Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih atau akrab disapa Ajus Linggih menyampaikan bahwa penetapan angka PBJT yang fantastis ini harus disertai dengan fasilitas dan pelayanan pariwisata “kelas 1”.

"Implementasi hospitality tourism di Indonesia khususnya Bali belum seoptimal itu jika harus disertai pajak yang mencapai 40% tersebut," ujarnya. 

Bukan itu saja, dia juga membandingkan aturan soal pajak hiburan di Indonesia yang berbanding 180 derajat dengan Thailand. 

Dia mengatakan pesaing utama Bali, yaitu Thailand yang malah ngurangin pajak hiburan sampai 5%. Menurutnya, pemerintah Thailand sadar pariwisata di negaranya menjadi penopang pajak yang tinggi.

"Saya rasa kebijakan ini bukanlah alternatif yang tepat. Harusnya ada pelonggaran pajak dan peningkatan government spending. Ini malah lagi resesi malah peningkatan pajak dan pengurangan government spending 15%. UMKM khususnya di bali akan jadi korbannya. Belum lagi wisatawan akan dikenai pungutan untuk pengelolaan sampah nantinya”, ujar Ajus Linggih.

Wakil Ketua PHRI Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya menjelaskan pelaku usaha hiburan dan SPA di Bali tegas menolak PBJT 40%. Sejumlah alasan dikemukakan Suryawijaya bersama pelaku usaha hiburan lainnya, pertama pasal PBJT sedang dalam tahap uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga penerapannya bisa ditunda. Kemudian yang kedua pelaku usaha khawatir takut konsumennya akan kabur jika dibebankan pajak 40%. 

"Kalau diterapkan sekarang, tamu akan kabur semua, sehingga kami dengan tegas menolak dan menunggu Judicial Review di MK. PBJT 40% ini tidak masuk akal, pembahasannya kami tidak pernah dilibatkan.

Kenaikan pajak hiburan telah digugat oleh Asosiasi SPA Terapis Indonesia (Asti), di mana pihaknya mengajukan judicial review atau pengujian yudisial ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk penolakan terhadap Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Gugatan tersebut sudah diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 Januari 2024.

Respons Sandiaga Uno 

Menanggapi polemik tersebut, Sandiaga Uno meminta masyarakat tidak khawatir dengan kenaikan pajak hiburan yang mencapai 75%. Menurutnya saat ini aturan kenaikan pajak hiburan masih dalam judicial review atau tahap pengujian yang dilakukan melalui lembaga peradilan.

"Pelaku usaha tidak perlu khawatir. Karena masih proses judicial review. Pemerintah memastikan semua kebijakannya itu untuk memberdayakan dan memberikan kesejahteraan, bukan untuk mematikan usaha," kata Sandiaga dikutip dari Instagramnya @sandiuno, Senin (15/1/2024).

Menurutnya, pemerintah tidak akan mematikan usaha pariwisata dan ekonomi kreatif lantaran sektor tersebut baru bangkit pasca pandemi. Terlebih saat ini sektor tersebut mampu membuka 40 juta lapangan kerja.

"Seluruh kebijakan termasuk pajak akan disesuaikan agar sektor ini kuat, agar sektor ini bisa menciptakan lebih banyak peluang usaha dan lapangan kerja," lanjutnya.

Dirinya kemudian mengaku siap untuk mendengarkan masukan dari pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif. Pihaknya juga akan ikut memperjuangkan keinginan para pelaku usaha di kemudian hari.

"Kami akan terus berjuang untuk kesejahteraan pelaku parekraf, untuk terciptanya lapangan pekerjaan, dan kami pastikan tidak akan mematikan industri parekraf yang sudah bangkit ini. Mbak @inul.d dan teman-teman semuanya, terima kasih atas aspirasinya," pungkas Sandi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa aturan tersebut menuai banyak kritikan karena tidak melibatkan pelaku usaha industri jasa hiburan dalam perumusannya.

Menurutnya, aturan tersebut masih bisa direviu kembali oleh pemerintah atau Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) untuk menganulir aturan spesifik terkait kenaikan pajak hiburan, misalnya dengan melakukan penundaan atau kembali menyesuaikan tarifnya.

“Karena kalau kenaikannya sampai terlalu tinggi maka industri hiburan kita pasti akan terpukul di saat pascapandemi Covid-19 di mana diharapkan wisatawan meningkat, event-event juga sedang naik. Nanti kan arahnya akan berdampak ke devisa pariwisata juga,” katanya kepada Bisnis, Senin (15/1/2024).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Feni Freycinetia Fitriani
Terkini