Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan keberadaan aktuaris dalam kegiatan usaha asuransi menjadi suatu keharusan. Kendati demikian, masih ada belasan perusahaan asuransi umum dan reasuransi yang belum memiliki aktuaris.
Titah OJK kepada perusahaan asuransi untuk memastikan memiliki aktuaris dalam perusahaan asuransi sendiri sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) dan Peraturan OJK (POJK). Pada Pasal 17 ayat (1) UU 40/2014 tercantum bahwa perusahaan perasuransian wajib mempekerjakan tenaga ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya, dalam rangka memastikan penerapan manajemen asuransi yang baik.
Masih mengacu Pasal yang sama dan ayat (2) berbunyi perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib mempekerjakan aktuaris dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya, untuk secara independen dan sesuai dengan standar praktik yang berlaku mengelola dampak keuangan dari risiko yang dihadapi perusahaan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menjelaskan keberadaan appointed actuary dalam kegiatan usaha asuransi menjadi suatu keharusan agar dapat mengelola aset dan liabilitas perusahaan secara optimal.
Ogi menuturkan kebutuhan ini tidak hanya dari sisi jumlah, namun juga dalam hal peningkatan kompetensi dan integritas aktuaris, mengingat tekanan yang semakin besar pada industri asuransi yang dipengaruhi oleh persaingan pasar dan implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 74.
Per 8 Januari 2024, sebanyak 130 dari 145 perusahaan asuransi dan reasuransi sudah memiliki aktuaris perusahaan. Artinya, masih ada 15 perusahaan yang belum memiliki aktuaris.
“Dari 15 perusahaan tersebut, ada 5 perusahaan yang sebelumnya memiliki aktuaris perusahaan namun telah mengundurkan diri dan belum mendapatkan penggantinya,” kata Ogi dalam jawaban tertulis.
Ogi menyampaikan OJK akan terus memantau pemenuhan appointed actuary dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar industri asuransi dapat tumbuh sehat ke depan dengan pengelolaan risiko dan kekayaan yang memadai.
Di samping itu, lanjut Ogi, OJK juga telah menerapkan supervisory action berupa Sanksi Peringatan Pertama terhadap perusahaan asuransi umum yang belum memiliki aktuaris perusahaan.
Terpisah, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila mengatakan kebutuhan aktuaris perlu dilihat secara komprehensif. Menurutnya, kebutuhan aktuaris tidak hanya dilihat dari sisi supply dan demand, melainkan juga potensi pemanfaatan keahlian aktuaris.
“Kalau dilihat dari supply aktuaris yang ada mencukupi, dan demand-nya besar. Namun contoh pemanfaatan keahlian aktuaria yang belum banyak mengemuka di PAU menjadi pertimbangan aktuaris untuk masuk ke industri asuransi umum,” kata Iwan kepada Bisnis, Selasa (16/1/2024).
Iwan menyatakan bahwa OJK terus mendorong asosiasi untuk menyiapkan para aktuaris untuk dapat berkontribusi di industri asuransi umum dan mendorong perusahaan asuransi umum untuk memanfaatkan secara optimal keahlian aktuaria.
“Karena [aktuaris] memang sangat dibutuhkan dalam mengelola risiko asuransi ke depan, serta membuka peluang para aktuaris untuk mengaktualisasikan ilmunya di industri asuransi umum,” ungkapnya.
Iwan menambahkan bahwa OJK juga mendorong perusahaan yang belum memiliki aktuaris untuk segera memenuhi ketentuan ini sehingga terhindar dari konsekuensi sanksi.
Namun sebenarnya, Iwan menjelaskan batas perusahaan agar segera memiliki aktuaris sampai Desember 2023. “Jadi sekarang kami sedang proses untuk yang belum memenuhi rencana mereka seperti apa untuk kita monitor agar sanksi yang sudah dikenakan sekarang ini bisa teratasi,” jelasnya.
Gaji dan Tunjangan Aktuaris Mahal
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyampaikan bahwa masalah pemenuhan kewajiban aktuaris di asuransi umum masih terkait dengan keterbatasan ketersediaan aktuaris untuk fellow actuary (FSAI) untuk appointed actuary.
Selain itu, AAUI melihat adanya perpindahan tenaga aktuaris dari perusahaan asuransi umum lainnya, yang dapat memberikan kompensasi remunerasi alias gaji dan tunjangab yang lebih tinggi.
“Inilah yang membuat alokasi biaya menjadi tinggi,” kata Direktur Eksekutif AAUI Bern Dwiyanto kepada Bisnis.
Dengan fenomena seperti ini, kata Bern, untuk mendapatkan aktuaris perusahaan harus menawarkan kompensasi remunerasi yang lebih tinggi. “Tingginya harga tenaga aktuaria, menjadi beban para pemain asuransi dengan kondisi keuangan menengah ke bawah tentunya,” ujarnya.
Dalam pemenuhan kebutuhan aktuaris, AAUI bersama dengan PAI telah menyelenggarakan beberapa pelatihan dan ujian di luar jadwal reguler untuk menghasilkan lebih banyak lagi FSAI di pasar.
Sampai dengan Desember 2023, AAUI mencatat anggota yang belum memiliki aktuaris perusahaan sebanyak 7 perusahaan. Bern menjelaskan bahwa ketujuh perusahaan ini sedang berupaya memiliki dengan berbagai cara dan dukungan pihak terkait, termasuk dalam proses fit & proper test (uji kelayakan dan kepatutan) di OJK.
Lebih lanjut, Bern menyatakan bahwa AAUI menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada OJK atas langkah apa yang akan dilakukan regulator kepada perusahaan asuransi umum yang belum memiliki aktuaris sampai dengan batas 31 Desember 2023.
“Namun dari kami upaya serta dukungan yang terus dilakukan dalam hal pemenuhan kewajiban ini, akan kami terus kami dorong,” terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel